Metode Kurva Fit untuk menghitung Kapasitas Dukung Tiang Pancang Vertikal & Miring Akibat Beban Horizontal di Tanah Pasir dan Lempung dari Hasil Uji Beban Statik Horizontal di Lapangan untuk Tiang Pancang Kaku dan Fleksibel (Fitting Method to Determine the Ultimate Bearing Capacity of Vertical and Batter Pile under Horizontal Loads in Sand and Clay from Horizontal Static Loading Test for Rigid and Flexible Pile)
(New Concept by Dr.Fabian J. Manoppo (SamRatulangi University Manado) & Emeritus Prof. T. Koumoto (Saga Unversity Japan)
Kelebihan :
Metode Kurva Fit (Metode Grafis) dibandingkan dengan method grafis lainnya seperti, Chin, Davidson, Mazur Kiwics, P-Y Curve dimana Metode ini mengusulkan pada nilai Kapasitas Dukung Maksimum dari Tiang Pancang bukan pada Nilai Kerusakan dari pada pile (Pile Damage).
Mendapat Winning Price Paper Terbaik dari Jurnal International Jepang JSIDRE (Japan Society Irrigation Dranaige and Reclamation Engineering)
Dapat digunakan untuk variasi kemiringan tiang pancang (batter pile) dan variasi kekakuan tiang pancang rigid/kaku/pendek dan flexible/fleksibel/panjang
Analisa :
Dari hasil uji beban Horizontal statis pada tiang pancang vertical & miring dilapangan akan diperoleh kurva hubungan beban Q – defleksi Y.
Metode Kurva Fit digunakan dengan asumsi awal sebagai sebuah asymptot seperti pada Gambar 2,
Gbr 2. Asumsi metode kurva fitting hubungan beban Q – defleksi Y
Secara matematika dapat di tulis seperti :
Q = Y / (a + b x S)
Y/Q = a + b x Y
dimana, a dan b adalah parameter dari kurva Q ~ Y.
Persamaan 2 dibahagi dengan Y,
1/Q = a/Y + b
Pada saat defleksi Y tak berhingga persamaan 3 akan menjadi seperti :
Q = QY.tak berhingga = 1/b
dimana QY.tak berhingga adalah asumsi daya dukung maksimum saat defleksi Y = tak berhingga.
Nilai Kapasitas Dukung Maksimum (Ultimate Bearing Capacity) Qu dari tiang pancang tunggal vertical dan miring akibat beban horizontal dari hasil uji beban horizontal statis dilapangan (Static horizontal Loading Test) dapat dihitung sbb :
Qu = m * Qut
Nilai m, diperoleh dari perhitungan percobaan di laboratorium dan teori Meyerhof untuk berbagai macam variasi kekakuan Kr (Relative Stiffness Kr of Pile) terdiri dari tiang pancang kaku/rigid pile/tiang pancang pendek dan tiang pancang fleksibel/ flexible pile/tiang pancang panjang. Menggunakan rumus Poulos dan Davis sbb :
Kr = EP.IP / ES. L4 ; Jika Kr ≥ 0.01 (Rigid Pile) ; Kr ≤ 0.01 (Flexible Pile)
Qut untuk tiang pancang vertical dan miring dapat menggunakan rumus Meyerhof & Ranjan,
Untuk pasir,
{( Qut cos E(epsilon) ) / Qa }^2 + {( Qut sin E ) / Qn }^2 = 1
Qa = G(gamma) L Nq At + Ks G L tan d(delta) As/2
Qn = 0.125 G B L^2 Kb
Leu /L= 1.65 Kr^0.12 ≦ 1 (Tiang Pancang Fleksibel gunakan Leu)
Untuk lempung,
{( Qut cos E ) / Qa }^2 + {( Qut sin E ) / Qn }^2 = 1
Qa = 9 Cu Ap + α Cu. As
Qh = 0.4 Cu D d Kc
Perbedaan Tiang Pancang Miring dan Vertikal sbb :
Untuk masing2 jenis tanah dan variasi kemiringan tiang nilai m adalah sbb ;
Sand case (Untuk Tanah Pasir),
mβ=0^o = 0.364 + 0.037 Log (Kr)
mβ=15^o = 0.489 + 0.042 Log (Kr)
mβ=-15^o = 0.306 + 0.028 Log (Kr)
mβ=30^o = 0.585 + 0.035 Log (Kr)
mβ=-30^o = 0.456 + 0.050 Log (Kr)
Clay case (Untuk Tanah Lempung) ,
mβ=0^o = 1.138 + 0.278 Log (Kr)
mβ=15^o = 0.946 + 0.229 Log (Kr)
mβ=-15^o= 1.153 + 0.283 Log (Kr)
mβ=30^o = 0.740 + 0.149 Log (Kr)
mβ=-30^o= 0.861 + 0.094 Log (Kr)
Materi Kuliah Rekayasa Pondasi II-Deep Foundation
Senin, 20 Desember 2010
Minggu, 19 Desember 2010
New Concept by Dr.Fabian J. Manoppo (Fitting Method to Determine the Ultimate Bearing Capacity of Vertical Pile Loading Test in the Field)
To : Whom it may concern,
Metode Kurva Fit untuk menghitung Kapasitas Dukung Tiang Pancang Vertikal Akibat Beban Vertikal dari Hasil Uji Beban Statis di Lapangan (Fitting Method to Determine the Ultimate Bearing Capacity of Vertical Pile under Vertical Loads from Static Vertical Loading Test in the Field)
Kelebihan :
Metode Kurva Fit (Metode Grafis) dibandingkan dengan method grafis lainnya seperti, Chin, Davidson, Mazur Kiwics, P-Y Curve dimana Metode ini mengusulkan pada nilai Kapasitas Dukung Maksimum dari Tiang Pancang bukan pada Nilai Kerusakan dari pada pile (Pile Damage)
Analisa Metode Kurva Fit sbb :
Dari hasil uji beban vertikal statis pada tiang pancang vertikal dilapangan akan diperoleh kurva hubungan beban Q – penurunan S.
Metode Kurva Fit digunakan dengan asumsi awal sebagai sebuah asymptot seperti pada Gambar 2,
Gbr 2. Asumsi metode kurva fitting hubungan beban Q – penurunan S
Secara matematika dapat di tulis seperti :
Q = S / (a + b x S)
S/Q = a + b x S
dimana, a dan b adalah parameter dari kurva Q ~S.
Persamaan 2 dibahagi dengan S,
1/Q = a/S + b
Pada saat penurunan S tak berhingga persamaan 3 akan menjadi seperti :
Q = QS.tak berhingga = 1/ b
dimana QS.tak berhingga adalah asumsi daya dukung maksimum saat penurunan S = tak berhingga. Nilai Kapasitas Dukung Maksimum (Ultimate Bearing Capacity) Qu dari tiang pancang tunggal vertikal akibat beban vertical dari hasil uji beban vertikal statis dilapangan (Static Vertical Loading Test) dapat dihitung sbb :
Qu = m * Q
Dimana Qut dapat menggunakan teori dari Meyerhof menggunakan data laboratorium ataupun data SPT sbb :
Qut = 0.5* γ *D*Ks*Tan δ+ Ap* q’ *Nq (pasir)
Qut = 9*Cu*Ap + α*Cu*As (lempung)
Qut SPT = (4 * Np * Ap) + (Ns rata-rata * As /50)
Nilai m, diperoleh dengan melakukan pengujian dilapangan , perhitungan dan membandingkan seperti PDA Test, O’Cell Test, data SPT, Teori Meyerhof, Teori Chin, Teori Mazur Kiewich, Teori P-Y Curve dan Davidson diperoleh nilai sbb :
Untuk lapisan tanah keras (Hard / Stiff Soil) Nilai m = 0.5 – 0.97
Untuk lapisan tanah lembek (Soft / weak Soil) Nilai m = 0.2 – 0.4
Metode Kurva Fit untuk menghitung Kapasitas Dukung Tiang Pancang Vertikal Akibat Beban Vertikal dari Hasil Uji Beban Statis di Lapangan (Fitting Method to Determine the Ultimate Bearing Capacity of Vertical Pile under Vertical Loads from Static Vertical Loading Test in the Field)
Kelebihan :
Metode Kurva Fit (Metode Grafis) dibandingkan dengan method grafis lainnya seperti, Chin, Davidson, Mazur Kiwics, P-Y Curve dimana Metode ini mengusulkan pada nilai Kapasitas Dukung Maksimum dari Tiang Pancang bukan pada Nilai Kerusakan dari pada pile (Pile Damage)
Analisa Metode Kurva Fit sbb :
Dari hasil uji beban vertikal statis pada tiang pancang vertikal dilapangan akan diperoleh kurva hubungan beban Q – penurunan S.
Metode Kurva Fit digunakan dengan asumsi awal sebagai sebuah asymptot seperti pada Gambar 2,
Gbr 2. Asumsi metode kurva fitting hubungan beban Q – penurunan S
Secara matematika dapat di tulis seperti :
Q = S / (a + b x S)
S/Q = a + b x S
dimana, a dan b adalah parameter dari kurva Q ~S.
Persamaan 2 dibahagi dengan S,
1/Q = a/S + b
Pada saat penurunan S tak berhingga persamaan 3 akan menjadi seperti :
Q = QS.tak berhingga = 1/ b
dimana QS.tak berhingga adalah asumsi daya dukung maksimum saat penurunan S = tak berhingga. Nilai Kapasitas Dukung Maksimum (Ultimate Bearing Capacity) Qu dari tiang pancang tunggal vertikal akibat beban vertical dari hasil uji beban vertikal statis dilapangan (Static Vertical Loading Test) dapat dihitung sbb :
Qu = m * Q
Dimana Qut dapat menggunakan teori dari Meyerhof menggunakan data laboratorium ataupun data SPT sbb :
Qut = 0.5* γ *D*Ks*Tan δ+ Ap* q’ *Nq (pasir)
Qut = 9*Cu*Ap + α*Cu*As (lempung)
Qut SPT = (4 * Np * Ap) + (Ns rata-rata * As /50)
Nilai m, diperoleh dengan melakukan pengujian dilapangan , perhitungan dan membandingkan seperti PDA Test, O’Cell Test, data SPT, Teori Meyerhof, Teori Chin, Teori Mazur Kiewich, Teori P-Y Curve dan Davidson diperoleh nilai sbb :
Untuk lapisan tanah keras (Hard / Stiff Soil) Nilai m = 0.5 – 0.97
Untuk lapisan tanah lembek (Soft / weak Soil) Nilai m = 0.2 – 0.4
Senin, 13 Desember 2010
Teori Baru Dr.F.J. Manoppo, Cara menghitung Bending Momen Tiang Pancang
Re: [forum-geoteknik-indonesia] Cara mencari kapasitas momen tiang
From: Fabian J Manoppo
View Contact
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Cc: alumnifatek@yahoogroups.com
Sedikit menjawab pertanyaannya mungkin bermanfaat :
Ada beberapa metode baik numerik bisa dengan bantuan software pile dll, juga bisa dianalisa dengan cara statik menggunakan rumus Brom's, Meyerhof, Manoppo et.al, dll untuk buku bisa Poulos & Davis dll
Kalau mau menggunakan Metode saya Manoppo et.al. (Manoppo, Koumoto and Sastry), dari hasil penelitian yg telah dan sedang dilakukan di laboratorium rumusnya adalah sebagai berikut :
1.Menghitung Bending Momen (Statik)
a. Untuk jenis tanah Pasir
Mmax. = 0.32. Quh . L (Rigid Pile/Tiang Kaku)
Mmax = 0.32. Quh . Leu (Flexible Pile/Tiang Fleksibel)
Rigid atau flexible dapat dibedakan pada Relatives Stiffness of Pile (kekakuan tiang) by Poulos & Davis sbb:
Kr = Ep.Ip / Es.L^4 untuk Rigid Pile Kr >= 0.01 dan Flexible Pile Kr <= 0.01
Leu = Length Efefctive Ultimate of Flexible pile by Sastry and Meyerhof (1994)
Leu / L = 1.65 Kr^0.12 <= 1
Quh = Ultimate Horizontal Load
L = Length of Pile
b. Untuk jenis tanah lempung
Mmax = 0.17. Qu. L (Rigid Pile)
Mmax = 0.17. Qu. Leu (Flexible Pile)
Leu / L = 1.5 Kr^0.12 <= 1
Untuk mengukur jarak maksimum bending moment (Lm) bisa menggunakan Metode,(Koumoto, Sastry and Manoppo) sbb :
Utk Pasir dan Clay :
Lm/L = 1.414 Kr^(1/4) tan^-1 [1/{1+1.414(e/l)Lr^(-1/4)}]
Teori yg sedang saya dkk kembangkan ini masih terbatas pada pembuktian percobaan loading test dilaboratorium dengan menggunakan beberapa variasi kekakuan tiang yg dipasang wire strain gauge dan dibaca dengan LVDT (Linear Voltage Differential Transducer)
Selamat mencoba dan membandingkan, kalau dapat hasilnya apalagi hasil dari pengukuran langsung di lapangan mohon informasi balik untuk saling menambah referensi
Hormat saya,
Fabian J Manoppo
Laboratory of Soil Mechanics and Geotechnical Enginering
Civil Department Faculty of Engineering
Sam Ratulangi University
Manado-Indonesia
http://fabianmanoppo.blogspot.com/
http://www.facebook.com/fmanoppo
http://www.kompasiana.com/fabianjm
From: Indra
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Tue, December 14, 2010 2:15:40 PM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] Cara mencari kapasitas momen tiang
Saya sedang mencari buku tentang cara mencari kapasitas momen tiang terutama tiang pancang beton maupun tiang bor. Kapasitas momen tiang ini dipakai untuk mencari kapasitas lateral suatu tiang khusus tiang jenis long pile dengan metode Broom. Apa cara mencari kapasitas momen tiang tersebut sama seperti halnya mencari kapasitas momen beton biasa khususnya bagian kolom ? Mohon bantuan para praktisi ataupun dosen di bidang geoteknik.
Terima kasih
Indra
From: Fabian J Manoppo
View Contact
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Cc: alumnifatek@yahoogroups.com
Sedikit menjawab pertanyaannya mungkin bermanfaat :
Ada beberapa metode baik numerik bisa dengan bantuan software pile dll, juga bisa dianalisa dengan cara statik menggunakan rumus Brom's, Meyerhof, Manoppo et.al, dll untuk buku bisa Poulos & Davis dll
Kalau mau menggunakan Metode saya Manoppo et.al. (Manoppo, Koumoto and Sastry), dari hasil penelitian yg telah dan sedang dilakukan di laboratorium rumusnya adalah sebagai berikut :
1.Menghitung Bending Momen (Statik)
a. Untuk jenis tanah Pasir
Mmax. = 0.32. Quh . L (Rigid Pile/Tiang Kaku)
Mmax = 0.32. Quh . Leu (Flexible Pile/Tiang Fleksibel)
Rigid atau flexible dapat dibedakan pada Relatives Stiffness of Pile (kekakuan tiang) by Poulos & Davis sbb:
Kr = Ep.Ip / Es.L^4 untuk Rigid Pile Kr >= 0.01 dan Flexible Pile Kr <= 0.01
Leu = Length Efefctive Ultimate of Flexible pile by Sastry and Meyerhof (1994)
Leu / L = 1.65 Kr^0.12 <= 1
Quh = Ultimate Horizontal Load
L = Length of Pile
b. Untuk jenis tanah lempung
Mmax = 0.17. Qu. L (Rigid Pile)
Mmax = 0.17. Qu. Leu (Flexible Pile)
Leu / L = 1.5 Kr^0.12 <= 1
Untuk mengukur jarak maksimum bending moment (Lm) bisa menggunakan Metode,(Koumoto, Sastry and Manoppo) sbb :
Utk Pasir dan Clay :
Lm/L = 1.414 Kr^(1/4) tan^-1 [1/{1+1.414(e/l)Lr^(-1/4)}]
Teori yg sedang saya dkk kembangkan ini masih terbatas pada pembuktian percobaan loading test dilaboratorium dengan menggunakan beberapa variasi kekakuan tiang yg dipasang wire strain gauge dan dibaca dengan LVDT (Linear Voltage Differential Transducer)
Selamat mencoba dan membandingkan, kalau dapat hasilnya apalagi hasil dari pengukuran langsung di lapangan mohon informasi balik untuk saling menambah referensi
Hormat saya,
Fabian J Manoppo
Laboratory of Soil Mechanics and Geotechnical Enginering
Civil Department Faculty of Engineering
Sam Ratulangi University
Manado-Indonesia
http://fabianmanoppo.blogspot.com/
http://www.facebook.com/fmanoppo
http://www.kompasiana.com/fabianjm
From: Indra
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Tue, December 14, 2010 2:15:40 PM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] Cara mencari kapasitas momen tiang
Saya sedang mencari buku tentang cara mencari kapasitas momen tiang terutama tiang pancang beton maupun tiang bor. Kapasitas momen tiang ini dipakai untuk mencari kapasitas lateral suatu tiang khusus tiang jenis long pile dengan metode Broom. Apa cara mencari kapasitas momen tiang tersebut sama seperti halnya mencari kapasitas momen beton biasa khususnya bagian kolom ? Mohon bantuan para praktisi ataupun dosen di bidang geoteknik.
Terima kasih
Indra
Rabu, 08 Desember 2010
pelelo (Geotechnical)
6 Dec 10 16:32
Hello,
I am analysing an excavation using SLOPE-W.
About 1 m off the top of the 10 m excavation there is a 4 story building.
According to the results i get from Slope W, I need to use any kind of earth retaining system (FS<1) on the excavation in order to make is stable (e.g anchors, nails, etc).
My question is, how could i obtain the design anchor force from SLOPE W? Is there any way to do so? Or will I need to enter several anchor force values until I get the Factor of safety i am looking for?
Please let me know.
althi (Geotechnical)
6 Dec 10 17:26
There must be a way in Slope/W. I use Slide and it has an option 'show support forces' to get this data.
On another note, if you use grout anchors in the upper strata, there is a potential that the adjacent building could move up by inches.
PEinc (Geotechnical)
6 Dec 10 18:44
Be careful using a flexible sheeting system to support a 4 story building. I would not do that. It would probably be more appropriate to use conventional concrete underpinning piers, a secant pile wall, jet grouting, or a slurry wall (in increasing order of cost). Soil nailing is not appropriate for supporting a building, big or small. Soil nail walls require significant open cuts along and below the existing building in order to install the nails and shotcrete. A building can fall down before you drill the first nail or spray the first load of shotcrete. A soil nail wall needs movement to transfer load to the passive nail tendons. Movement means settlement of the building. Building settlement can mean injury, damage, and a lawsuit. A combination of tiedback or braced sheeting with micropiles to support the existing foundations may also be economical.
pelelo (Geotechnical)
7 Dec 10 20:12
Thanks for you reply.
We are planning to deal with anchors as due to the site restrictions a small anchor drilling machine will be more accesible than any slurry wall drill rig, or secant piles drill rig.
I don't see very clearly the required anchor force from SLOPE W. I see the free body diagram force from each slice, but no information is given regarding any additional force required to stabilize the slope. Or maybe slope W doesn't show any information at all.
What I think is there should be an easier way instead of assigning an anchor forces and trying to chase the FS you are looking for. Mayeb it would be easier if I try another software, any ideas?
The adjacent building is 1 m off the slope, consolidation is not necessary as the soil profile is silty sand (SM), with n values between 10 and 20.
PEinc (Geotechnical)
7 Dec 10 23:28
For the few slope stability programs I have seen, you enter in a tieback force, by trial and error, and then see if the safety factor is OK. The programs do not calculate the required tieback force. For a program that calculates the tieback force, you need a wall design program such as CivilTech Software's Shoring Suite. However, the wall programs will not do a global slope stability analysis, as far as I have seen.
6 Dec 10 16:32
Hello,
I am analysing an excavation using SLOPE-W.
About 1 m off the top of the 10 m excavation there is a 4 story building.
According to the results i get from Slope W, I need to use any kind of earth retaining system (FS<1) on the excavation in order to make is stable (e.g anchors, nails, etc).
My question is, how could i obtain the design anchor force from SLOPE W? Is there any way to do so? Or will I need to enter several anchor force values until I get the Factor of safety i am looking for?
Please let me know.
althi (Geotechnical)
6 Dec 10 17:26
There must be a way in Slope/W. I use Slide and it has an option 'show support forces' to get this data.
On another note, if you use grout anchors in the upper strata, there is a potential that the adjacent building could move up by inches.
PEinc (Geotechnical)
6 Dec 10 18:44
Be careful using a flexible sheeting system to support a 4 story building. I would not do that. It would probably be more appropriate to use conventional concrete underpinning piers, a secant pile wall, jet grouting, or a slurry wall (in increasing order of cost). Soil nailing is not appropriate for supporting a building, big or small. Soil nail walls require significant open cuts along and below the existing building in order to install the nails and shotcrete. A building can fall down before you drill the first nail or spray the first load of shotcrete. A soil nail wall needs movement to transfer load to the passive nail tendons. Movement means settlement of the building. Building settlement can mean injury, damage, and a lawsuit. A combination of tiedback or braced sheeting with micropiles to support the existing foundations may also be economical.
pelelo (Geotechnical)
7 Dec 10 20:12
Thanks for you reply.
We are planning to deal with anchors as due to the site restrictions a small anchor drilling machine will be more accesible than any slurry wall drill rig, or secant piles drill rig.
I don't see very clearly the required anchor force from SLOPE W. I see the free body diagram force from each slice, but no information is given regarding any additional force required to stabilize the slope. Or maybe slope W doesn't show any information at all.
What I think is there should be an easier way instead of assigning an anchor forces and trying to chase the FS you are looking for. Mayeb it would be easier if I try another software, any ideas?
The adjacent building is 1 m off the slope, consolidation is not necessary as the soil profile is silty sand (SM), with n values between 10 and 20.
PEinc (Geotechnical)
7 Dec 10 23:28
For the few slope stability programs I have seen, you enter in a tieback force, by trial and error, and then see if the safety factor is OK. The programs do not calculate the required tieback force. For a program that calculates the tieback force, you need a wall design program such as CivilTech Software's Shoring Suite. However, the wall programs will not do a global slope stability analysis, as far as I have seen.
Bearing Capacity in Granural Soil
http://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=286567&page=1
New PostSMetcalfe (Geotechnical)
25 Nov 10 3:39
Hello, I am having a bit of trouble with a basic bearing capacity calculation;
Looking at a 14m dia. foundation founded at 1mbgl on loose granular deposits (N-value of 6, phi of 29degrees).
Based on the Brinch Hansen calculation, ignoring shape and depth factors and using a factor of safety of 3 I am obtaining a bearing capacity of around 1000kN/m2. This seems very excessive and when I compare this to other literature sources such as Tomlinson (7th edition) Fig 2.4, Pg 57, I should be looking at a value of around 50-150kN/m2.
Parameters I am using are a unit weight of 19kN/m3, bearing capacity factors; Nq - 16 and Ny - 18.
Can anyone correct me on where I am going wrong?
My shortened calc (Brinch Hansen) ignoring shape / depth factors is;
qn = (Po x Nq + 0.5 x yB x Ny) / 3
qn = ( ((19 x 1) x 18) x + 0.5 x ((19 x 12) x 18)) / 3
qn - bearing capacity
Po - Overburden pressure (Depth x unit weight)
Nq - factor (16)
Ny - factor (18)
yB - (Unit weight of soil x Breadth of structure)
New PostBigH (Geotechnical)
25 Nov 10 7:23
You are basically correct - you have a very large footing which gives a huge "gamma" term. Just think what it would show if the footing was a more normal width - say 5 m. Day's Fdn Engr HB (published by McGraw Hill and sponsored by ASCE shows a Ngamma value of about 15. This would push your value down a bit - so, in any event, you are showing an allowable bearing capacity of about 800 kPa (fudging a bit without calculating for the lower Ngamma (how did you get the greek symbols?). Anyway, as far as you go, you are correct.
However, this shows the point that shear seldom governs the permissible (allowable) bearing pressure. Settlement does. If one uses 25 mm of settlement for your size footing you would estimate an allowable bearing pressure of about 50 kPa (Terzaghi and Peck) - or perhaps as much as 75 kPa if one uses Bowles suggestion of adding 50%. For 50 mm of settlement (typical for mat foundation) one would say that the allowable bearing pressure (settlement based) would be in the order of 100 to 150 kPa - a far cry from the bearing pressure based on shear. One can draw curves of various allowable settlements vs footing width. See the attached chart. This is for a situation where the "N" value (corresponding Ngamma) is in the order of: 0 to 6m: 25 (35); 6 to 18m: 42 (95); 18 to 23m: 18 (23) and >23m: 49 (135). But it shows how to do it.
It has been my opinion that far too much effort is made on bearing capacity - and you see this even in the LRFD approach - you spend a lot of time analyzing the bearing capacity under many load variations - and in the end, it is the serviceability that will govern the permissible (allowable) bearing pressure.
For the chart that has been attached and its background, you can go to the following link and click on NCS Policy Memo 1 (they will then ask name etc so you can access their site (free).
http://www.ncsconsultants.com/projects/lrfd_policy_memoranda.php
One should also read Fellenius' papers
http://ww.fellenius.net/papers/219%20Delusion%20of%20Bearing%20Capacity.pdf
http://widener.parameterid.com/docs/courses/senior/F08_SP09/401files/FootingsinSand.pdf
* http://files.engineering.com/getfile.aspx?folder=f222ac63-e8ec-414a-bb03-51
New PostSMetcalfe (Geotechnical)
25 Nov 10 8:05
Thanks BigH that is really helpful. I used the tables within Tomlinson to obtain the greek values.
So which method would you recommend?
I don't really understand your second paragraph regarding settlement governing bearing capacity can you give me some more information on this or point me to a paper?
New PostRon (Structural)
25 Nov 10 9:56
Check your overburden pressure and unit weight...doesn't seem to fit with N=6 and soil description.
New PostBigH (Geotechnical)
25 Nov 10 16:30
I agree Ron that for N=6, a unit weight of 19 might be a bit high - but even if you drop it to 17 or even 16, it is not going to change the "answer" too much - for the big point is the very large (14m) foundation size. It is still the settlement that will govern the load than will be permitted on the foundation; it shows that large mats can carry, in shear, very large loads . . .
@SMetcalf - read the Fellenius paper. Why does settlement govern? Because if you exceed certain settlements (both total and differential) the structure you have might undergo distress (cracking, tilting, etc) that would make the structure unserviceable. Just think - if you have a limit on settlement of 40 mm and it takes only 75 kPa to achieve that - why would an an allowable bearing capacity of 300 kPa be relevant.
New PostSMetcalfe (Geotechnical)
25 Nov 10 3:39
Hello, I am having a bit of trouble with a basic bearing capacity calculation;
Looking at a 14m dia. foundation founded at 1mbgl on loose granular deposits (N-value of 6, phi of 29degrees).
Based on the Brinch Hansen calculation, ignoring shape and depth factors and using a factor of safety of 3 I am obtaining a bearing capacity of around 1000kN/m2. This seems very excessive and when I compare this to other literature sources such as Tomlinson (7th edition) Fig 2.4, Pg 57, I should be looking at a value of around 50-150kN/m2.
Parameters I am using are a unit weight of 19kN/m3, bearing capacity factors; Nq - 16 and Ny - 18.
Can anyone correct me on where I am going wrong?
My shortened calc (Brinch Hansen) ignoring shape / depth factors is;
qn = (Po x Nq + 0.5 x yB x Ny) / 3
qn = ( ((19 x 1) x 18) x + 0.5 x ((19 x 12) x 18)) / 3
qn - bearing capacity
Po - Overburden pressure (Depth x unit weight)
Nq - factor (16)
Ny - factor (18)
yB - (Unit weight of soil x Breadth of structure)
New PostBigH (Geotechnical)
25 Nov 10 7:23
You are basically correct - you have a very large footing which gives a huge "gamma" term. Just think what it would show if the footing was a more normal width - say 5 m. Day's Fdn Engr HB (published by McGraw Hill and sponsored by ASCE shows a Ngamma value of about 15. This would push your value down a bit - so, in any event, you are showing an allowable bearing capacity of about 800 kPa (fudging a bit without calculating for the lower Ngamma (how did you get the greek symbols?). Anyway, as far as you go, you are correct.
However, this shows the point that shear seldom governs the permissible (allowable) bearing pressure. Settlement does. If one uses 25 mm of settlement for your size footing you would estimate an allowable bearing pressure of about 50 kPa (Terzaghi and Peck) - or perhaps as much as 75 kPa if one uses Bowles suggestion of adding 50%. For 50 mm of settlement (typical for mat foundation) one would say that the allowable bearing pressure (settlement based) would be in the order of 100 to 150 kPa - a far cry from the bearing pressure based on shear. One can draw curves of various allowable settlements vs footing width. See the attached chart. This is for a situation where the "N" value (corresponding Ngamma) is in the order of: 0 to 6m: 25 (35); 6 to 18m: 42 (95); 18 to 23m: 18 (23) and >23m: 49 (135). But it shows how to do it.
It has been my opinion that far too much effort is made on bearing capacity - and you see this even in the LRFD approach - you spend a lot of time analyzing the bearing capacity under many load variations - and in the end, it is the serviceability that will govern the permissible (allowable) bearing pressure.
For the chart that has been attached and its background, you can go to the following link and click on NCS Policy Memo 1 (they will then ask name etc so you can access their site (free).
http://www.ncsconsultants.com/projects/lrfd_policy_memoranda.php
One should also read Fellenius' papers
http://ww.fellenius.net/papers/219%20Delusion%20of%20Bearing%20Capacity.pdf
http://widener.parameterid.com/docs/courses/senior/F08_SP09/401files/FootingsinSand.pdf
* http://files.engineering.com/getfile.aspx?folder=f222ac63-e8ec-414a-bb03-51
New PostSMetcalfe (Geotechnical)
25 Nov 10 8:05
Thanks BigH that is really helpful. I used the tables within Tomlinson to obtain the greek values.
So which method would you recommend?
I don't really understand your second paragraph regarding settlement governing bearing capacity can you give me some more information on this or point me to a paper?
New PostRon (Structural)
25 Nov 10 9:56
Check your overburden pressure and unit weight...doesn't seem to fit with N=6 and soil description.
New PostBigH (Geotechnical)
25 Nov 10 16:30
I agree Ron that for N=6, a unit weight of 19 might be a bit high - but even if you drop it to 17 or even 16, it is not going to change the "answer" too much - for the big point is the very large (14m) foundation size. It is still the settlement that will govern the load than will be permitted on the foundation; it shows that large mats can carry, in shear, very large loads . . .
@SMetcalf - read the Fellenius paper. Why does settlement govern? Because if you exceed certain settlements (both total and differential) the structure you have might undergo distress (cracking, tilting, etc) that would make the structure unserviceable. Just think - if you have a limit on settlement of 40 mm and it takes only 75 kPa to achieve that - why would an an allowable bearing capacity of 300 kPa be relevant.
Senin, 06 Desember 2010
Soldier Pile Wall
mjalexan (Civil/Environme)
http://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=281487&page=1
16 Sep 10 10:07
Permanent Soldier Pile Wall
Wall height (H) = 12 feet
Using 14x73 H piles with precast concrete lagging
Deflection is limited to H/100 => 1.44 inches
Soil:
Sand = 120 pcf, phi=28 from top of wall to 21 feet
Sand = 120 pcf, phi=32 from 21 feet to 40 feet
I have a traffic surcharge of an additional 2 feet of fill behind the wall and level back fill.
I have a 14x73 H pile in the center of a 30 inch predrilled hole which will be filled with 3,000 psi concrete. I saw a thread about this but my question was not answered.
I want to determine the composite stiffness to use below the dredge line to keep my deflection down. Everything I have found online is the reinforced concrete design example with a row of rebar in the tension side of a beam, no circular shafts or columns.
Using just concrete or just the h pile seems too conservative, especially with the very limited deflection.
PEinc (Geotechnical)
16 Sep 10 12:27
FYI, I assumed that you could use Coulomb earth pressure coefficients and wall friction for both active and passive coefficients. I assumed 10' maximum soldier pile spacing. I ignored the strength of the concrete in the analysis. I assumed a passive resistance width of 3b = 3 x 2.5' = 7.5'. I added a Boussinesq area surcharge of 240 psf (= 2' x 120 pcf) starting 1 foot off the wall and extending 25 feet back. Using an HP14x73, GR50. I get an deflection of 0.99 inches. In my opinion, your 1.44 inch maximum allowable deflection (H/100) is not very limiting. I would design a permanent wall for less deflection than that. I would probaby design for no more than an inch unless specs required less.
Also, if you are using precast lagging, I hope you are building a fill wall where you can stack the lagging from the bottom up. It is hard to install concrete lagging in lifts as the excavation is being made. If you are building a fill wall with drilled soldier beams and concrete lagging, you probably are building an uneconomical wall.
dcarr82775 (Structural)
16 Sep 10 13:42
The only way to reliably get composite action between the H14 and the concrete pier is to use Shear Studs, or some type of shear lug. My experience is that contractor's hate doing this so I assume no composite action and use a beam sized with that in mind.
msquared48 (Structural)
17 Sep 10 22:42
Considering the low strength of the concrete encasing the pile so it can be easily removed to install the lagging, I would not rely on any composite action of the W shape with the 30" concrete pile.
If you are placing a permanent concrete foundation wall next to the W shapes, then composite stud action will work to attach the p[ile to the concrete wall, but, since the W shape is already loaded laterally, the composite action will only affect lateral deflections if the wall is further loaded laterally.
Have you considered using soil arching action to decrease the lateral load to the pile. If not, ask your geotech.
The load reduction may give you the lateral deflections that were recommended.
http://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=281487&page=1
16 Sep 10 10:07
Permanent Soldier Pile Wall
Wall height (H) = 12 feet
Using 14x73 H piles with precast concrete lagging
Deflection is limited to H/100 => 1.44 inches
Soil:
Sand = 120 pcf, phi=28 from top of wall to 21 feet
Sand = 120 pcf, phi=32 from 21 feet to 40 feet
I have a traffic surcharge of an additional 2 feet of fill behind the wall and level back fill.
I have a 14x73 H pile in the center of a 30 inch predrilled hole which will be filled with 3,000 psi concrete. I saw a thread about this but my question was not answered.
I want to determine the composite stiffness to use below the dredge line to keep my deflection down. Everything I have found online is the reinforced concrete design example with a row of rebar in the tension side of a beam, no circular shafts or columns.
Using just concrete or just the h pile seems too conservative, especially with the very limited deflection.
PEinc (Geotechnical)
16 Sep 10 12:27
FYI, I assumed that you could use Coulomb earth pressure coefficients and wall friction for both active and passive coefficients. I assumed 10' maximum soldier pile spacing. I ignored the strength of the concrete in the analysis. I assumed a passive resistance width of 3b = 3 x 2.5' = 7.5'. I added a Boussinesq area surcharge of 240 psf (= 2' x 120 pcf) starting 1 foot off the wall and extending 25 feet back. Using an HP14x73, GR50. I get an deflection of 0.99 inches. In my opinion, your 1.44 inch maximum allowable deflection (H/100) is not very limiting. I would design a permanent wall for less deflection than that. I would probaby design for no more than an inch unless specs required less.
Also, if you are using precast lagging, I hope you are building a fill wall where you can stack the lagging from the bottom up. It is hard to install concrete lagging in lifts as the excavation is being made. If you are building a fill wall with drilled soldier beams and concrete lagging, you probably are building an uneconomical wall.
dcarr82775 (Structural)
16 Sep 10 13:42
The only way to reliably get composite action between the H14 and the concrete pier is to use Shear Studs, or some type of shear lug. My experience is that contractor's hate doing this so I assume no composite action and use a beam sized with that in mind.
msquared48 (Structural)
17 Sep 10 22:42
Considering the low strength of the concrete encasing the pile so it can be easily removed to install the lagging, I would not rely on any composite action of the W shape with the 30" concrete pile.
If you are placing a permanent concrete foundation wall next to the W shapes, then composite stud action will work to attach the p[ile to the concrete wall, but, since the W shape is already loaded laterally, the composite action will only affect lateral deflections if the wall is further loaded laterally.
Have you considered using soil arching action to decrease the lateral load to the pile. If not, ask your geotech.
The load reduction may give you the lateral deflections that were recommended.
Minggu, 28 November 2010
Installation of auger cast piles
http://www.eng-tips.com/viewthread.cfm?qid=286278&page=1
abusementpark (Structural)
21 Nov 10 19:21
I'm soon going to be observing the installation of auger cast piles for the first time.
Any tips on things to look for when observing?
Ron (Structural)
21 Nov 10 20:01
Count the pump strokes. Know the volume of each stroke.
Make sure there is sufficient head on the grout to prevent "necking" of the pile.
Compare pumped volume with theoretical pile volume. If different, find out why. If actual < theoretical....necking. If actual > theoretical, low strength stata or lense encountered, or void in soil profile.
Make sure they rebar cage gets to the desired depth and without having to pound it into place.
If tension is consideration, make sure tension bar is pushed straight and to the proper depth.
Check grout strength and flow.
I'm sure I've probably forgotten something, but off the "top of my head" these are critical.
msquared48 (Structural)
22 Nov 10 2:25
Some very basic additional thoughts to add here...
Check the placement of the pile before it is poured to make sure it is according to plan.
Make sure the cage steel is of the right size and grade.
dirtydude (Geotechnical)
22 Nov 10 14:07
To add to what Ron listed, it is OK and actually preferrable to have the pumped volume to be greater than the theoretical. This is due to the 'head' alluded to and the fact that the auger is rarely absolutely straight. So, while the auger 'wobbles' to the desired tip, a hole of slightly greater diameter will be drilled than theoretical.
Centralizing devices are a great addition, if not required by spec, to ensure proper reinforcing steel installation.
Ron (Structural)
23 Nov 10 17:23
ABP...the Deep Foundations Institute has an augercast pile inspection handbook. It's small and cheap, if still available. I looked on my bookshelf and found one...should have done that before I responded!! If it's not available anymore, let me know and I'll copy it and post it.
Ron
abusementpark (Structural)
23 Nov 10 21:18
Quote:
Count the pump strokes. Know the volume of each stroke.
How do you know the volume of each stroke?
Quote:
Make sure there is sufficient head on the grout to prevent "necking" of the pile.
Compare pumped volume with theoretical pile volume. If different, find out why. If actual < theoretical....necking. If actual > theoretical, low strength stata or lense encountered, or void in soil profile.
I was told that typical overages in my region are 15%-30%.
How do you assure sufficient head?
I should clarify that I am observing, not inspecting.
Ron (Structural)
24 Nov 10 6:38
ABP...simple grout pumps are positive displacement pumps. They have a piston that displaces a volume (bore area x stroke) for each stroke. Some contractors use variable displacement pumps...which should have a device to display the volume or flow.
If you know the volume of the grout being pumped at all times and you know the extraction rate of the auger, you can estimate the head on the grout.
As DD noted, the overage will be typical. Be more concerned about undervolume conditions. Over just means you're pumping a little more grout. Under can mean a structural deficiency.
dirtydude (Geotechnical)
24 Nov 10 13:34
Contractors usually calibrate the pumps prior to the intallation of any piles. The grout is pumped into a 55 gallon drum. The drum should measured, 55 gallon drums are not usually 55 gallons. The drum is filled with grout while counting the strokes. Once filled, the volume per stroke can be determined and the appropriate number of strokes required to create a postive head as well as strokes pumped per increment of pile.
abusementpark (Structural)
21 Nov 10 19:21
I'm soon going to be observing the installation of auger cast piles for the first time.
Any tips on things to look for when observing?
Ron (Structural)
21 Nov 10 20:01
Count the pump strokes. Know the volume of each stroke.
Make sure there is sufficient head on the grout to prevent "necking" of the pile.
Compare pumped volume with theoretical pile volume. If different, find out why. If actual < theoretical....necking. If actual > theoretical, low strength stata or lense encountered, or void in soil profile.
Make sure they rebar cage gets to the desired depth and without having to pound it into place.
If tension is consideration, make sure tension bar is pushed straight and to the proper depth.
Check grout strength and flow.
I'm sure I've probably forgotten something, but off the "top of my head" these are critical.
msquared48 (Structural)
22 Nov 10 2:25
Some very basic additional thoughts to add here...
Check the placement of the pile before it is poured to make sure it is according to plan.
Make sure the cage steel is of the right size and grade.
dirtydude (Geotechnical)
22 Nov 10 14:07
To add to what Ron listed, it is OK and actually preferrable to have the pumped volume to be greater than the theoretical. This is due to the 'head' alluded to and the fact that the auger is rarely absolutely straight. So, while the auger 'wobbles' to the desired tip, a hole of slightly greater diameter will be drilled than theoretical.
Centralizing devices are a great addition, if not required by spec, to ensure proper reinforcing steel installation.
Ron (Structural)
23 Nov 10 17:23
ABP...the Deep Foundations Institute has an augercast pile inspection handbook. It's small and cheap, if still available. I looked on my bookshelf and found one...should have done that before I responded!! If it's not available anymore, let me know and I'll copy it and post it.
Ron
abusementpark (Structural)
23 Nov 10 21:18
Quote:
Count the pump strokes. Know the volume of each stroke.
How do you know the volume of each stroke?
Quote:
Make sure there is sufficient head on the grout to prevent "necking" of the pile.
Compare pumped volume with theoretical pile volume. If different, find out why. If actual < theoretical....necking. If actual > theoretical, low strength stata or lense encountered, or void in soil profile.
I was told that typical overages in my region are 15%-30%.
How do you assure sufficient head?
I should clarify that I am observing, not inspecting.
Ron (Structural)
24 Nov 10 6:38
ABP...simple grout pumps are positive displacement pumps. They have a piston that displaces a volume (bore area x stroke) for each stroke. Some contractors use variable displacement pumps...which should have a device to display the volume or flow.
If you know the volume of the grout being pumped at all times and you know the extraction rate of the auger, you can estimate the head on the grout.
As DD noted, the overage will be typical. Be more concerned about undervolume conditions. Over just means you're pumping a little more grout. Under can mean a structural deficiency.
dirtydude (Geotechnical)
24 Nov 10 13:34
Contractors usually calibrate the pumps prior to the intallation of any piles. The grout is pumped into a 55 gallon drum. The drum should measured, 55 gallon drums are not usually 55 gallons. The drum is filled with grout while counting the strokes. Once filled, the volume per stroke can be determined and the appropriate number of strokes required to create a postive head as well as strokes pumped per increment of pile.
Kamis, 25 November 2010
Menard Pressure Meter for Young Modulus
Jordan2 (Geotechnical)
21 Jun 06 11:34
Hi,
it is not clear to me why it is suggested to derive the Young modulus (Ey) from the pressumeter (Menard) modulus (Em) by dividing the latter by one reological coefficient (alfa). My question arises from the fact that Em is already calculated considering only the elastic deformation occurred during the pressumeter test.
I imagine that a correction could be required for different stress path, but why a reological factor is involved?
Thank you for your comments
mdhshanwil (Geotechnical)
21 Jun 06 15:59
Hi Jordan2--
I believe the alpha factor you are describing is a combination of three effects that combine to force an adjustment to obtain an elastic modulus from the PMT modulus. The first is stress path, as you mentioned. The second is that the PMT modulus is somewhere between a compressive modulus and a tensile modulus. The third effect is due to the strain levels over which the PMT test is measured.
There is a lengthy discussion of this in Baguelin's (1978) book on the PMT in Chapter 6.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
Jordan2 (Geotechnical)
22 Jun 06 6:08
Thank you Mdhshanwil,
I agree with your evaluation. My curiosity was mainly oriented to the fact that the term "reological" was involved in the correction factor: in my opinion this choice is not so logical..
Kind Regards
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
casimmons (Geotechnical)
23 Jun 06 12:42
The alpha factor considers that the PMT is done in the horizontal direction, and for settlement calculations you are interested in the vertical direction. It also considers affects such as aging, overconsolidation, soil type, etc. Obviously selection of the appropriate alpha factor is very important.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
BigHarvey (Geotechnical)
26 Jun 06 2:52
The rheological coefficient alpha was created by Louis Menard to allow theory to match to practice. A pressuremeter modulus is not exactly a Young's modulus. You need this coefficient to calculate settlements. however be careful when calculating settlements for soft clays where the behaviour is more consolidation than elasticity : in this case you will be more accurate by using a oedometric approach.
BigH (Geotechnical)
26 Jun 06 4:52
BigHarvey - good point; and one to mirror why you would't use a normal plate load test result for settlement either!
21 Jun 06 11:34
Hi,
it is not clear to me why it is suggested to derive the Young modulus (Ey) from the pressumeter (Menard) modulus (Em) by dividing the latter by one reological coefficient (alfa). My question arises from the fact that Em is already calculated considering only the elastic deformation occurred during the pressumeter test.
I imagine that a correction could be required for different stress path, but why a reological factor is involved?
Thank you for your comments
mdhshanwil (Geotechnical)
21 Jun 06 15:59
Hi Jordan2--
I believe the alpha factor you are describing is a combination of three effects that combine to force an adjustment to obtain an elastic modulus from the PMT modulus. The first is stress path, as you mentioned. The second is that the PMT modulus is somewhere between a compressive modulus and a tensile modulus. The third effect is due to the strain levels over which the PMT test is measured.
There is a lengthy discussion of this in Baguelin's (1978) book on the PMT in Chapter 6.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
Jordan2 (Geotechnical)
22 Jun 06 6:08
Thank you Mdhshanwil,
I agree with your evaluation. My curiosity was mainly oriented to the fact that the term "reological" was involved in the correction factor: in my opinion this choice is not so logical..
Kind Regards
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
casimmons (Geotechnical)
23 Jun 06 12:42
The alpha factor considers that the PMT is done in the horizontal direction, and for settlement calculations you are interested in the vertical direction. It also considers affects such as aging, overconsolidation, soil type, etc. Obviously selection of the appropriate alpha factor is very important.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
BigHarvey (Geotechnical)
26 Jun 06 2:52
The rheological coefficient alpha was created by Louis Menard to allow theory to match to practice. A pressuremeter modulus is not exactly a Young's modulus. You need this coefficient to calculate settlements. however be careful when calculating settlements for soft clays where the behaviour is more consolidation than elasticity : in this case you will be more accurate by using a oedometric approach.
BigH (Geotechnical)
26 Jun 06 4:52
BigHarvey - good point; and one to mirror why you would't use a normal plate load test result for settlement either!
Vs30 & Nspt
talicus (Geotechnical)
9 Mar 05 10:12
In Italy will be mandatory to determine Vs30 for projects. It will be admitted the use of SPT values to deterimine Vs30.
1) I' dont understand why according to USA, Nehrp, Nspt values are not to be corrected? Neither to (N60)ER. There are other raccomandations well explained ?
2) When is allowed to stop the boring before reach 30m.
ashjun (Geotechnical)
18 Mar 05 9:33
Hi,
Your views sound interesting. Would you please expand on the Vs30? I am not sure what it means.
Last month I was given a small assignment on the evaluation of volume of grout mix gone under a viaduct which runs over the new proposed underground in Italy. The project is near Bologna for Italferr. I recall SPT values being in the data sheets submitted by the contractor.
Correct me if I am wrong.
Thanks
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
italicus (Geotechnical)
18 Mar 05 17:15
According to this Building codes:
Unified Building COde
NEHRP (USA)
EC8 (European Union)
OPCM 3274 (Italy)
For seismic caracterization, the site will be classified according to the value of the average shear wave velocity, Vs30, if this is available, otherwise the value of NSPT will be used.
Mi question was, is to be corrected the field Nspt ?
Why and why not?
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
eric1037 (Geotechnical)
21 Mar 05 12:53
The IBC states that uncorrected SPT values be used. I am not entirely sure why you can't correct it.
It would seem that if you want a higher seismic site class, you would use a "donut" hammer with a rope and cathead instead of an auto hammer.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
ashjun (Geotechnical)
23 Mar 05 17:24
Hi italicus
You are correct when you use N60; that is apply "necessary correction" to the observed N value to make it "realistic observed N value" at 60% applied energy. This is probably because most of the field SPT values all over the world are now related to each other at standard N60 energy (a lot of work in SPT is done in America and their SPT hammer produces so called "60% energy"). You could probably find some literature by Seed who had done correlation between SPT values from some countries (including China and America) and liquefaction potential of the soil. He has also given relations to convert SPT from other countries to the standard "USA" energy.
The standard correction (e.g. overburden, presence of water table) is only necessary when you need to calculated the bearing pressure of the soil.
Your other question on stopping boring when the borehole has reached 30m - even I am perplexed. Here, SPT tests are carried out even at lower depths. But then again, your geotechnical engineer is more sensible because the energy required to drive the SPT tube below 30m is naturally lost (in rod joints etc) and God knows what energy is being transmitted to the SPT shoe.
eric1037 (Geotechnical)
24 Mar 05 11:36
There may be some confusion here.
The Internation Building Code, with respect to seismic site coefficient, states in section 1615.1.5 "Ni is the Standard Penetration Resistance (ASTM D 1586-84) not to exceed 100 blows/feet as directly measured in the field without corrections."
In addition, the seismic site coefficient is determined by taking the weighted average in the top 100 feet (30,480 mm).
As to why it is that way, there is currently much debate.
Personally, the I think the IBC does not accurately determine the site seismic coefficient due to their codes. It is much more representative to use cross-hole or down-hole testing to determine the shear wave velocity (Vsi).
In cohesive soils, the undrained shear strength is used to estimate the site class. There is confusion there as well, because table 1615.1.1 has a column of shear strength next to a column showing SPT values. The shear strength in this table does not jive with established correlations between SPT and shear strength. This is because they do not mean to imply this relationship in the table. The goal of the shear strength in the table is to estimate the stiffness of the soil, and thereby, the response of the soil to a seismic event.
It all comes down to trying to estimate the behavior of soil in the event of a seismic event. All of these methods are approximate. The ultimate goal is to estimate the modulus of elasticity of the soil. Unfortunately, the IBC does not allow for more direct measurement of modulus through the use of laboratory testing or field methods such as the dilatometer or pressuremeter.
I know this doesn't help much, but as geotechnical engineers, we are often put in a position by the owner and the structural engineer to provide a seismic site class higher than what is justified by simple SPT.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
italicus (Geotechnical)
25 Mar 05 2:55
I've understand thath the USA codes doesn't tell about ER60 because all the SPT apparatus teorically are ER60.
In general, according to many manuals SPT Vs measure are conservatives.
The strange is that for NEHRP 2003 and for your IBC no correction for litostatic pressure is to do (N1)60, and for Uniform Building Code (1997) cited by R.W.Day, Geot. Earthqk. Eng. Handbook (2002) this correction is to do.
9 Mar 05 10:12
In Italy will be mandatory to determine Vs30 for projects. It will be admitted the use of SPT values to deterimine Vs30.
1) I' dont understand why according to USA, Nehrp, Nspt values are not to be corrected? Neither to (N60)ER. There are other raccomandations well explained ?
2) When is allowed to stop the boring before reach 30m.
ashjun (Geotechnical)
18 Mar 05 9:33
Hi,
Your views sound interesting. Would you please expand on the Vs30? I am not sure what it means.
Last month I was given a small assignment on the evaluation of volume of grout mix gone under a viaduct which runs over the new proposed underground in Italy. The project is near Bologna for Italferr. I recall SPT values being in the data sheets submitted by the contractor.
Correct me if I am wrong.
Thanks
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
italicus (Geotechnical)
18 Mar 05 17:15
According to this Building codes:
Unified Building COde
NEHRP (USA)
EC8 (European Union)
OPCM 3274 (Italy)
For seismic caracterization, the site will be classified according to the value of the average shear wave velocity, Vs30, if this is available, otherwise the value of NSPT will be used.
Mi question was, is to be corrected the field Nspt ?
Why and why not?
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
eric1037 (Geotechnical)
21 Mar 05 12:53
The IBC states that uncorrected SPT values be used. I am not entirely sure why you can't correct it.
It would seem that if you want a higher seismic site class, you would use a "donut" hammer with a rope and cathead instead of an auto hammer.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
ashjun (Geotechnical)
23 Mar 05 17:24
Hi italicus
You are correct when you use N60; that is apply "necessary correction" to the observed N value to make it "realistic observed N value" at 60% applied energy. This is probably because most of the field SPT values all over the world are now related to each other at standard N60 energy (a lot of work in SPT is done in America and their SPT hammer produces so called "60% energy"). You could probably find some literature by Seed who had done correlation between SPT values from some countries (including China and America) and liquefaction potential of the soil. He has also given relations to convert SPT from other countries to the standard "USA" energy.
The standard correction (e.g. overburden, presence of water table) is only necessary when you need to calculated the bearing pressure of the soil.
Your other question on stopping boring when the borehole has reached 30m - even I am perplexed. Here, SPT tests are carried out even at lower depths. But then again, your geotechnical engineer is more sensible because the energy required to drive the SPT tube below 30m is naturally lost (in rod joints etc) and God knows what energy is being transmitted to the SPT shoe.
eric1037 (Geotechnical)
24 Mar 05 11:36
There may be some confusion here.
The Internation Building Code, with respect to seismic site coefficient, states in section 1615.1.5 "Ni is the Standard Penetration Resistance (ASTM D 1586-84) not to exceed 100 blows/feet as directly measured in the field without corrections."
In addition, the seismic site coefficient is determined by taking the weighted average in the top 100 feet (30,480 mm).
As to why it is that way, there is currently much debate.
Personally, the I think the IBC does not accurately determine the site seismic coefficient due to their codes. It is much more representative to use cross-hole or down-hole testing to determine the shear wave velocity (Vsi).
In cohesive soils, the undrained shear strength is used to estimate the site class. There is confusion there as well, because table 1615.1.1 has a column of shear strength next to a column showing SPT values. The shear strength in this table does not jive with established correlations between SPT and shear strength. This is because they do not mean to imply this relationship in the table. The goal of the shear strength in the table is to estimate the stiffness of the soil, and thereby, the response of the soil to a seismic event.
It all comes down to trying to estimate the behavior of soil in the event of a seismic event. All of these methods are approximate. The ultimate goal is to estimate the modulus of elasticity of the soil. Unfortunately, the IBC does not allow for more direct measurement of modulus through the use of laboratory testing or field methods such as the dilatometer or pressuremeter.
I know this doesn't help much, but as geotechnical engineers, we are often put in a position by the owner and the structural engineer to provide a seismic site class higher than what is justified by simple SPT.
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
italicus (Geotechnical)
25 Mar 05 2:55
I've understand thath the USA codes doesn't tell about ER60 because all the SPT apparatus teorically are ER60.
In general, according to many manuals SPT Vs measure are conservatives.
The strange is that for NEHRP 2003 and for your IBC no correction for litostatic pressure is to do (N1)60, and for Uniform Building Code (1997) cited by R.W.Day, Geot. Earthqk. Eng. Handbook (2002) this correction is to do.
Correlation between Eu and Su
qhtony (Civil/Environme)
8 May 09 8:30
Hi guys,
I have been scratching my head off trying to find out the relationship between Eu (undrained Elasticity Modulus of soil) and Su (undrained shear strength of clay). However, literatures do not give a straight forward relationship between these two. Most of them are Eu=K*Su, but the K usually depends on various factors such as PI and OCR etc and can be read from charts.
I am wondering, say for normal consolidated clay, is there a simply relationship that I can determine Eu using Su??
Thanks,
fattdad (Geotechnical)
8 May 09 9:45
How will the value of soil modulus be used when the correlation (if the correlation) is obtained? It seems for a normally consolidated clay, you'd be more interested in the 1-D consolidation characteristics.
f-d
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
qhtony (Civil/Environme)
9 May 09 6:51
Hi f-d,
The ultimate goal is to find out Kh (horizontal modulus of subgrade reaction), which is dependent on d, Eu and poisson's ratio based on Vesic (1961)'s elastic theory.
For clay with known undrained shear strength, using the formula above, Kh then can be determined.
So is there any correlation between Eu and Su ?
BigH (Geotechnical)
9 May 09 10:06
There has been many published relationships - Bowles has them summarized. Other texts, too. I don't want to quote off the top of my head - all my references are at work - although 250 to 400xSu [i]pops;/i] into my head (but the actual correlations depend on plasticity and consistency. As with any 'correlations' you should try to research the types of soils it really applies to and confirm that it makes sense for you. You might look at Tomlinson's piling book - he has a very nice section on the subject.
8 May 09 8:30
Hi guys,
I have been scratching my head off trying to find out the relationship between Eu (undrained Elasticity Modulus of soil) and Su (undrained shear strength of clay). However, literatures do not give a straight forward relationship between these two. Most of them are Eu=K*Su, but the K usually depends on various factors such as PI and OCR etc and can be read from charts.
I am wondering, say for normal consolidated clay, is there a simply relationship that I can determine Eu using Su??
Thanks,
fattdad (Geotechnical)
8 May 09 9:45
How will the value of soil modulus be used when the correlation (if the correlation) is obtained? It seems for a normally consolidated clay, you'd be more interested in the 1-D consolidation characteristics.
f-d
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
qhtony (Civil/Environme)
9 May 09 6:51
Hi f-d,
The ultimate goal is to find out Kh (horizontal modulus of subgrade reaction), which is dependent on d, Eu and poisson's ratio based on Vesic (1961)'s elastic theory.
For clay with known undrained shear strength, using the formula above, Kh then can be determined.
So is there any correlation between Eu and Su ?
BigH (Geotechnical)
9 May 09 10:06
There has been many published relationships - Bowles has them summarized. Other texts, too. I don't want to quote off the top of my head - all my references are at work - although 250 to 400xSu [i]pops;/i] into my head (but the actual correlations depend on plasticity and consistency. As with any 'correlations' you should try to research the types of soils it really applies to and confirm that it makes sense for you. You might look at Tomlinson's piling book - he has a very nice section on the subject.
Correlation between Eu and Su
qhtony (Civil/Environme)
8 May 09 8:30
Hi guys,
I have been scratching my head off trying to find out the relationship between Eu (undrained Elasticity Modulus of soil) and Su (undrained shear strength of clay). However, literatures do not give a straight forward relationship between these two. Most of them are Eu=K*Su, but the K usually depends on various factors such as PI and OCR etc and can be read from charts.
I am wondering, say for normal consolidated clay, is there a simply relationship that I can determine Eu using Su??
Thanks,
fattdad (Geotechnical)
8 May 09 9:45
How will the value of soil modulus be used when the correlation (if the correlation) is obtained? It seems for a normally consolidated clay, you'd be more interested in the 1-D consolidation characteristics.
f-d
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
qhtony (Civil/Environme)
9 May 09 6:51
Hi f-d,
The ultimate goal is to find out Kh (horizontal modulus of subgrade reaction), which is dependent on d, Eu and poisson's ratio based on Vesic (1961)'s elastic theory.
For clay with known undrained shear strength, using the formula above, Kh then can be determined.
So is there any correlation between Eu and Su ?
BigH (Geotechnical)
9 May 09 10:06
There has been many published relationships - Bowles has them summarized. Other texts, too. I don't want to quote off the top of my head - all my references are at work - although 250 to 400xSu [i]pops;/i] into my head (but the actual correlations depend on plasticity and consistency. As with any 'correlations' you should try to research the types of soils it really applies to and confirm that it makes sense for you. You might look at Tomlinson's piling book - he has a very nice section on the subject.
8 May 09 8:30
Hi guys,
I have been scratching my head off trying to find out the relationship between Eu (undrained Elasticity Modulus of soil) and Su (undrained shear strength of clay). However, literatures do not give a straight forward relationship between these two. Most of them are Eu=K*Su, but the K usually depends on various factors such as PI and OCR etc and can be read from charts.
I am wondering, say for normal consolidated clay, is there a simply relationship that I can determine Eu using Su??
Thanks,
fattdad (Geotechnical)
8 May 09 9:45
How will the value of soil modulus be used when the correlation (if the correlation) is obtained? It seems for a normally consolidated clay, you'd be more interested in the 1-D consolidation characteristics.
f-d
Inappropriate post?
If so, Red Flag it!
Check out the FAQ
area for this forum!
qhtony (Civil/Environme)
9 May 09 6:51
Hi f-d,
The ultimate goal is to find out Kh (horizontal modulus of subgrade reaction), which is dependent on d, Eu and poisson's ratio based on Vesic (1961)'s elastic theory.
For clay with known undrained shear strength, using the formula above, Kh then can be determined.
So is there any correlation between Eu and Su ?
BigH (Geotechnical)
9 May 09 10:06
There has been many published relationships - Bowles has them summarized. Other texts, too. I don't want to quote off the top of my head - all my references are at work - although 250 to 400xSu [i]pops;/i] into my head (but the actual correlations depend on plasticity and consistency. As with any 'correlations' you should try to research the types of soils it really applies to and confirm that it makes sense for you. You might look at Tomlinson's piling book - he has a very nice section on the subject.
Field Density Vs Laboratory Density ASTM D-6938
New Postmartin888888 (Civil/Environme)
4 Oct 10 15:28
We have a project with about 50,000cy fill, with maximum fill at about 3'. It has brought up a question. We are calling out our testing to be performed in accordance with ASTM D-6938 (field nuclear gauge test). What is the difference between this test method and a labratory test such as D1557? When is a labratory test needed vs a field test.
I am asking this from a very elimentary standpoint as my experince is of a Hydrologic Engineer and sticking my nose into this project.
Thanks
New Postfattdad (Geotechnical)
4 Oct 10 16:35
Typically, when you are doing the field density tests for compaction control, you'll have a specification such as, "95 percent of the maximum dry density as determined in the laboratory using ASTM D-1557, Modified Proctor. The lab test is a basis to confirm that the compacted field density is achieving some percentage of a laboratory standard.
Problem is the laboratory standard can vary by grain size distribution. So, not one lab test can be used for the entire job. It's always correct to do more "Proctors" in the laboratory as quality assurance on the field program.
f-d
New PostHelpful Member!Ron (Structural)
4 Oct 10 17:13
Continuing with f-d's explanation...
ASTM D6938 is a method to determine the in-place density and moisture content of the soil or a soil-aggregate mixture such as a pavement base material.
The in-place density is first determined as the wet density, then the moisture content at the same location is determined. Let say for example that your wet density of the in-place material was 114.2 pounds per cubic foot. Then the moisture content is determined and found to be 11.3 percent. From these two values, the dry density is determined by the equation
((wet density/(1+moisture content))=dry density
So your dry density is 102.6 pcf
Meanwhile, a sample of the material in the field has been taken back to the laboratory to perform the D1557 test (commonly called a Modified Proctor). This test is the moisture-density relationship of laboratory compacted soil.
In the laboratory, the technicians divide sample into 4 specimens and allow them to dry. They then add moisture at different amounts so as to develop a relationship curve between moisture and dry density. The moistened soil is then compacted in the lab using standardized procedures so that the same amount of compaction energy is put into each specimen.
After compaction the wet density and the moisture content are determined to find the dry density of each specimen.
The dry density is then plotted against the moist content of the specimen at the time of compaction and a curve is developed. The peak of this curve is called the maximum dry density and the corresponding moisture content is called the optimum moisture content. Let's say that such a test was done on your soil and it was found that the maximum dry density was 109.6 pcf and the optimum moisture content was 11.1 percent.
Your in-place density divided by the maximum dry density is the amount of compaction you have achieved in the field. Usually that is specified to be somewhere between 95 and 100 percent, depending on the application. For your case...
102.6/109.6 yields 94 percent compaction, or slightly failing the typical specification requirement. Looking at the results, we see that the in-place moisture content is almost at optimum, so this tells us that there just needs to be more compactive effort put forth in the field...roll it some more, then retest it.
4 Oct 10 15:28
We have a project with about 50,000cy fill, with maximum fill at about 3'. It has brought up a question. We are calling out our testing to be performed in accordance with ASTM D-6938 (field nuclear gauge test). What is the difference between this test method and a labratory test such as D1557? When is a labratory test needed vs a field test.
I am asking this from a very elimentary standpoint as my experince is of a Hydrologic Engineer and sticking my nose into this project.
Thanks
New Postfattdad (Geotechnical)
4 Oct 10 16:35
Typically, when you are doing the field density tests for compaction control, you'll have a specification such as, "95 percent of the maximum dry density as determined in the laboratory using ASTM D-1557, Modified Proctor. The lab test is a basis to confirm that the compacted field density is achieving some percentage of a laboratory standard.
Problem is the laboratory standard can vary by grain size distribution. So, not one lab test can be used for the entire job. It's always correct to do more "Proctors" in the laboratory as quality assurance on the field program.
f-d
New PostHelpful Member!Ron (Structural)
4 Oct 10 17:13
Continuing with f-d's explanation...
ASTM D6938 is a method to determine the in-place density and moisture content of the soil or a soil-aggregate mixture such as a pavement base material.
The in-place density is first determined as the wet density, then the moisture content at the same location is determined. Let say for example that your wet density of the in-place material was 114.2 pounds per cubic foot. Then the moisture content is determined and found to be 11.3 percent. From these two values, the dry density is determined by the equation
((wet density/(1+moisture content))=dry density
So your dry density is 102.6 pcf
Meanwhile, a sample of the material in the field has been taken back to the laboratory to perform the D1557 test (commonly called a Modified Proctor). This test is the moisture-density relationship of laboratory compacted soil.
In the laboratory, the technicians divide sample into 4 specimens and allow them to dry. They then add moisture at different amounts so as to develop a relationship curve between moisture and dry density. The moistened soil is then compacted in the lab using standardized procedures so that the same amount of compaction energy is put into each specimen.
After compaction the wet density and the moisture content are determined to find the dry density of each specimen.
The dry density is then plotted against the moist content of the specimen at the time of compaction and a curve is developed. The peak of this curve is called the maximum dry density and the corresponding moisture content is called the optimum moisture content. Let's say that such a test was done on your soil and it was found that the maximum dry density was 109.6 pcf and the optimum moisture content was 11.1 percent.
Your in-place density divided by the maximum dry density is the amount of compaction you have achieved in the field. Usually that is specified to be somewhere between 95 and 100 percent, depending on the application. For your case...
102.6/109.6 yields 94 percent compaction, or slightly failing the typical specification requirement. Looking at the results, we see that the in-place moisture content is almost at optimum, so this tells us that there just needs to be more compactive effort put forth in the field...roll it some more, then retest it.
Pemodelan Plaxis
Bls: Bls: [forum-geoteknik-indonesia] tanya tentang pemodelan PLAXIS2D
From: Aswin Aswin [Chat now]
Mas Indra,
Saya hanya menambahkan apa yang kang haje utarakan, bilamana anda memilih analisa dengan undrained condition (c=Su, phi=0) untuk tanah clay ; maka muka air tanah tidak dimodelkan lagi karena anda memilih total stress analysis. Sebaliknya jika anda memilih drained condition dan memilih effective stress analysis, maka silahkan di set muka air tanah sesuai kondisi lapangan.
Selain itu, K0 condition menjadi kunci juga dalam program plaxis. Jika tanah residual makan rumus dari Jaky dimana K0 = 1-sin(phi)' dapat dipakai (default Plaxis).
tetapi bilamana tanah tergolong tanah vulkanik/residual, paka K0 tidak bisa dihitung dari Jaky's formula. Pada tanah residual K0 biasanya lebih besar dari 1.
Saran : coba run dulu contoh pada manual plaxis dan Mohr-Coulomb model cukup memuaskan untuk analisa berbagai kasus geoteknik.
salam,
aswin
From: Aswin Aswin
Mas Indra,
Saya hanya menambahkan apa yang kang haje utarakan, bilamana anda memilih analisa dengan undrained condition (c=Su, phi=0) untuk tanah clay ; maka muka air tanah tidak dimodelkan lagi karena anda memilih total stress analysis. Sebaliknya jika anda memilih drained condition dan memilih effective stress analysis, maka silahkan di set muka air tanah sesuai kondisi lapangan.
Selain itu, K0 condition menjadi kunci juga dalam program plaxis. Jika tanah residual makan rumus dari Jaky dimana K0 = 1-sin(phi)' dapat dipakai (default Plaxis).
tetapi bilamana tanah tergolong tanah vulkanik/residual, paka K0 tidak bisa dihitung dari Jaky's formula. Pada tanah residual K0 biasanya lebih besar dari 1.
Saran : coba run dulu contoh pada manual plaxis dan Mohr-Coulomb model cukup memuaskan untuk analisa berbagai kasus geoteknik.
salam,
aswin
Rabu, 24 November 2010
Pemodelan Plaxis
Re: Bls: [forum-geoteknik-indonesia] tanya tentang pemodelan PLAXIS2D
From:haje
Mas Indra,
Kalau baru belajar pakai program, sebaiknya menggunakan azas "KISS" yaitu menggunakan model2 yg simpel2 saja dulu. Kalau sdh mahir, bisa coba pakai yg rada2 canggih yg menggunakan strain softening atau hardening..dll.
Model Mohr-Coulomb, walaupun cukup sederhana, bisa dipakai utk analisa problem yg rumit, asalkan bisa memilih parameter tanah yg cukup tepat.
Parameter yg anda punya sdh bisa dipakai utk analisa. Yg anda perlukan utk analisa deformasi adalah:
1. Kuat geser tanah;
2. Modulus tanah dan Poisson ratio:
3. unit weight;
4. Muka air tanah atau phreatic surface
Poin 1 dan 2 akan tergantung dari kondisi yg anda analisis, 'undrained' ataukah 'drained'.
Utk model M-C:
Utk kondisi 'drained', cukup simpel, cari nilai c, phi, E dan Poisson ratio. Biasanya Poisson ratio=0.35 cukup mewakili berbagai macam kondisi tanah.
Utk kondisi 'undrained', bisa macam2 caranya:
- ada yg senang pakai total stress - cu (phi=0), Eu, Poisson ratio mendekati 0.5, tapi biasanya 0.45 sudah cukup.
- ada yg pakai c' dan phi', plus Bbar utk menghitung kenaikan excess pore pressure.
Masing2 approach ada untung dan ruginya..
Gunakan data SPT utk mengestimasi kuat geser tanah dan modulus tanah.
utk tanah gravel - pakai korelasi antara spt-n dg friction angle utk tanah pasir. Lihat di NavFAC atau buku manual Mayne and Kulhawy.
utk tanah liat - cari nilai c dan phi, utk analisa drained (jangka panjang); kalau mau analisa undrained (total stress), bisa gunakan cu=5N atau 6N.
Ini juga dibahas dlm buku Mayne-Kulhawy.
Silakan baca2 di situ.
Jangan lupa juga, baca Plaxis manualnya dengan teliti, saya yakin jawabannya sdh ada disitu semua.
salam,
haje
2010/11/25 Indra
--- In forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com, Edwin Hendrikus
wrote:
>
> Sdr. Indra
>
> utk kasus yg sederhana, kita dpt gunakan mohr-coulomb. soft soil umumnya utk tanah lempung NC, sedangkan softsoil creep biasanya utk gambut yg konsolidasinya sangat brgantung waktu (tidak hanya konsolidasi primer, namun konsolidasi sekunder dan tersier justru yg dominan). hardening soil umumnya utk tanah pasir, gravel, atau bisa jg utk lempung OC. kalau kita mempertimbangkan perilaku elastis-plastis tanah, maka kita bisa memperoleh parameter lambda dan kappa utk soft soil dan soft soil creep. brdasarkan pngalaman saya, nilai lambda dan kappa ini diperoleh dari hasil plot grafik regangan-tegangan (bisa dr triaxial), dan utk mencarinya agak rumit krn membutuhkan banyak data regangan-tegangan. apabila kita hanya punya data NSPT, maka kita bisa menggunakan mohr-coulomb dgn mengkorelasikan nilai NSPT trhadap phi, cu, dan E.
>
> CMIIW alias mohon dikoreksi bila salah :D
>
> Salam,
>
> Edwin
>
> --- Pada Rab, 24/11/10, Indra menulis:
>
> Dari: Indra
> Judul: [forum-geoteknik-indonesia] tanya tentang pemodelan PLAXIS2D
> Kepada: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
> Tanggal: Rabu, 24 November, 2010, 11:38 AM
> Bapak2 sekalian, saya INdra mahasiswa teknik sipil yang sedang mengerjakan tugas akhir,dengan menggunakan program plaxis, hal yang saya ingin tanyakan adalah bagaimana cara saya untuk mengetahui kondisi tanah di lapangan itu dimodelkan menjadi Mohr coulumb,hardening soil, soft soil model atau lainya ? satu hal lagi, jika saya hanya memiliki data tanah hasil uji N-SPT, apa bisa saya mengetahui pemodelan yang tepat untuk keadaan tanah di lapangan ?
>
> Terima kasih sebelumnya
>
> Mohon bantuannya
>
From:haje
Mas Indra,
Kalau baru belajar pakai program, sebaiknya menggunakan azas "KISS" yaitu menggunakan model2 yg simpel2 saja dulu. Kalau sdh mahir, bisa coba pakai yg rada2 canggih yg menggunakan strain softening atau hardening..dll.
Model Mohr-Coulomb, walaupun cukup sederhana, bisa dipakai utk analisa problem yg rumit, asalkan bisa memilih parameter tanah yg cukup tepat.
Parameter yg anda punya sdh bisa dipakai utk analisa. Yg anda perlukan utk analisa deformasi adalah:
1. Kuat geser tanah;
2. Modulus tanah dan Poisson ratio:
3. unit weight;
4. Muka air tanah atau phreatic surface
Poin 1 dan 2 akan tergantung dari kondisi yg anda analisis, 'undrained' ataukah 'drained'.
Utk model M-C:
Utk kondisi 'drained', cukup simpel, cari nilai c, phi, E dan Poisson ratio. Biasanya Poisson ratio=0.35 cukup mewakili berbagai macam kondisi tanah.
Utk kondisi 'undrained', bisa macam2 caranya:
- ada yg senang pakai total stress - cu (phi=0), Eu, Poisson ratio mendekati 0.5, tapi biasanya 0.45 sudah cukup.
- ada yg pakai c' dan phi', plus Bbar utk menghitung kenaikan excess pore pressure.
Masing2 approach ada untung dan ruginya..
Gunakan data SPT utk mengestimasi kuat geser tanah dan modulus tanah.
utk tanah gravel - pakai korelasi antara spt-n dg friction angle utk tanah pasir. Lihat di NavFAC atau buku manual Mayne and Kulhawy.
utk tanah liat - cari nilai c dan phi, utk analisa drained (jangka panjang); kalau mau analisa undrained (total stress), bisa gunakan cu=5N atau 6N.
Ini juga dibahas dlm buku Mayne-Kulhawy.
Silakan baca2 di situ.
Jangan lupa juga, baca Plaxis manualnya dengan teliti, saya yakin jawabannya sdh ada disitu semua.
salam,
haje
2010/11/25 Indra
--- In forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com, Edwin Hendrikus
>
> Sdr. Indra
>
> utk kasus yg sederhana, kita dpt gunakan mohr-coulomb. soft soil umumnya utk tanah lempung NC, sedangkan softsoil creep biasanya utk gambut yg konsolidasinya sangat brgantung waktu (tidak hanya konsolidasi primer, namun konsolidasi sekunder dan tersier justru yg dominan). hardening soil umumnya utk tanah pasir, gravel, atau bisa jg utk lempung OC. kalau kita mempertimbangkan perilaku elastis-plastis tanah, maka kita bisa memperoleh parameter lambda dan kappa utk soft soil dan soft soil creep. brdasarkan pngalaman saya, nilai lambda dan kappa ini diperoleh dari hasil plot grafik regangan-tegangan (bisa dr triaxial), dan utk mencarinya agak rumit krn membutuhkan banyak data regangan-tegangan. apabila kita hanya punya data NSPT, maka kita bisa menggunakan mohr-coulomb dgn mengkorelasikan nilai NSPT trhadap phi, cu, dan E.
>
> CMIIW alias mohon dikoreksi bila salah :D
>
> Salam,
>
> Edwin
>
> --- Pada Rab, 24/11/10, Indra
>
> Dari: Indra
> Judul: [forum-geoteknik-indonesia] tanya tentang pemodelan PLAXIS2D
> Kepada: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
> Tanggal: Rabu, 24 November, 2010, 11:38 AM
> Bapak2 sekalian, saya INdra mahasiswa teknik sipil yang sedang mengerjakan tugas akhir,dengan menggunakan program plaxis, hal yang saya ingin tanyakan adalah bagaimana cara saya untuk mengetahui kondisi tanah di lapangan itu dimodelkan menjadi Mohr coulumb,hardening soil, soft soil model atau lainya ? satu hal lagi, jika saya hanya memiliki data tanah hasil uji N-SPT, apa bisa saya mengetahui pemodelan yang tepat untuk keadaan tanah di lapangan ?
>
> Terima kasih sebelumnya
>
> Mohon bantuannya
>
Jumat, 19 November 2010
Membangun Masyarakat Sadar Bencana
Contoh Kasus di Propinsi Sulut
Sulawesi Utara dikelilingi oleh 7 Lempengan 2 Patahan dan Busur Gunung Berapi, lihat peta gempa 2010
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/peta10_50.jpg
7 Lempengan:
- Eurasia Plate (Lempengan Eurasia),
- Philipine Plate (Lempengan Philipina),
- Pacific Plate (Lempengan Pacific)
- Australia Plate (Lempengan Australia),
- Sangihe Plate (Lempengan Sangihe),
- Moluca Sea Plate (Lempengan Laut Maluku)
- Halmahera Plate (Lempengan Halmahera).
2 Patahan yang berpengaruh diSULUT:
- Patahan Palu Koro
- Patahan Gorontalo
- Patahan Sorong
3 Patahan Lokal :
- Patahan Manado
- Patahan Amurang
- Patahan Bolmong
Dengan kondisi seperti diatas maka SULUT sangat berpotensi terjadi Gempa
Bumi,Tsunami,Banjir dan Longsor. Untuk itulah mari kita memberi pendidikan
kepada masyarakat SULUT untuk supaya lebih memahami tentang bencana sehingga
resiko-resiko yg ditimbulkan oleh bencana alam dapat diMitigasi dengan cara
Membangun Masyarakat Sulut Sadar Bencana. Lewat event ini kita bisa saling
tukar pengalaman untuk lebih memahami dan ikut memasyarakatkan resiko-resiko
dan cara-cara mengenal fenemona terjadinya Bencana Alam di SULUT
Dua cara mitigasi Gempa :
I. Usaha mitigasi gempa dan tsunami secara teknik
1. Perlunya penerapan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan IPB(Ijin Penggunaan
Bangunan) secara ketat untuk bangunan diatas dua tingkat baik bangunan pribadi
maupun bangunan publik. IMB diberikan oleh instansi pemerintah terkait
sedangkan IPB diberikan oleh Tim Independen yang diambil dari Fakultas Teknik,
Kimpraswil, Pertambangan, Lingkungan Hidup dengan tugas mengadakan pengujian
hasil perhitungan yang telah direncanakan oleh pihak pengemban. Hal ini perlu
didukung oleh PERDA
2. Beban Gempa adalah beban Dinamis sedangkan analisa bebannya dapat
menggunanakan cara statis seperti menggunakan rumus-rumus statis serta
koefisien-koefisien gempa yang mengacu pada peraturan standart pembebanan gempa
di Indonesia,sedangkan cara dinamis dapat menggunakan analisa numerik dengan
bantuan program seperti yg terdapat pada web belajar ilmu gempa
http://www.iris.edu/hq/ yang menggunakan data langsung dari alat seismograf
dll
3. Perlunya pemasangan alat berbasis teknologi informasi seperti Global Earlier
Warning System untuk pencegahan bahaya tsunami
4. Perlunya pengadaan Laboratorium Gempa di Fakultas Tenik yang berisi
perlatan seperti Shacker Table, Seismograf untuk melakukan penelitian lebih
lanjut masalah gempa dan tsunami serta data riwayat gempa dan tanah yg cukup
lengkap
5. Perlunya pemberian matapelajaran mengenai pengenalan dan penanggulangan
gempa disekolah sekolah seperti
http://www.youtube.com/watch?v=ItcPIAn5ESc&feature=related , sementara untuk
matakuliah di jurusan yang terkait dengan bangunan teknik sipil dalam
analisanya perlu menghitung pengaruh gempa.
6. Perlu adanya badan penanggulangan gempa yang terdiri dari orang-orang yang
terlatih dalam penangan masalah gempa dan tsunami
7. Perlu penataan tata ruang selain mengontrol keindahan dan penataan bangunan
juga untuk mengatur lokasi-lokasi seperti bangunan ataupun areal yang dapat
dijadikan sebagai tempat penyelamatan pada saat terjadi gempa ataupun tsunami
II. Usaha mitigasi secara non teknik :
Usaha mitigasi secara non teknik yaitu dengan menggunakan rumus sbb :
Resiko Gempa = Bencana Gempa/Ketahanan Masyarakat
Jadi dari formula diatas dapat dilihat jelas bahwa untuk memitigasi Resiko
Gempa maka upaya upaya yang diperlukan adalah Memberdayakan Ketahanan
Masyarakat yaitu dengan Mengetahui Tentang Asal Mula Terjadinya Gempa, Memahami
Peringatan Dini, Sadar Akan Resiko, Serta Paham Bagaimana Menghadapi Musibah
Gempa. upaya upaya untuk membangun Ketahanan Masyarakat dapat diikuti sebagai
berikut :
1. Memahami tentang terjadinya gempa :
Masyarakat harus mengetahui tentang bagaimana terjadinya gempa
Secara umum Gempa bumi terdiri dari :
- Gempa Vulkanik (terjadi akibat proses pada gunung berapi seperti letusan
gunung berapi),
- Gempa Tektonik (Terjadi akibat proses pergeseran lempengan atau patahan dalam
perut bumi)
- Gempa akibat adanya jatuhan Benda Angkasa seperti Meteor
- Gempa diakibatkan oleh percobaan Nuklir.
Adapun Tsunami dapat diartikan sebagai :
Gelombang yang mempunyai daya rusak cukup tinggi dan disebabkan oleh Gempa baik
gempa vulkanik, gempa tektonik, jatuhan meteor ataupun percobaan nuklir yang
terjadi dilaut.
2. Cara cara memahami peringatan dini dapat dilihat sebagai berikut :
- Masyarakat Sulawesi Utara harus menyadari bahwa daerah yang kita huni ini
adalah daerah rawan gempa.
- Gejala terjadinya tsunami biasanya terjadi setelah gempa antara 3 – 60 menit
bagi masyarakat yang berada disekitar pantai dapat melihat apabila air laut
surut secara tiba-tiba maka segera mencari tempat ketinggian yang kuat seperti
bangunan bertingkat, bukit, pohon diatas 5 m.
- Apabila Gempa anak-anak sekolah dilatih secara otomatis masuk dibawah
meja belajar masing-masing dengan posisi jongkok. Kalau berada diluar
ruangan mencari lapangan yang terbuka jauh dari bangunan-bangunan apalagi
bangunan bertingkat.
- Apabila Gempa masyarakat yang berada digedung bertingkat segera mencari
tempat berlindung seperti masuk dibawah meja untuk berlindung dari jatuhnya
benda-benda yang berbahaya bagi manusia tidak perlu berlarian keluar gedung
karena kalau Gempa yang berkekuatan cukup tinggi diatas 7 M maka dapat
terjadi keruntuhan bangunan maka tindakan berlari keluar percuma saja.
- Perhatikan pula tanda-tanda alam seperti perilaku Hewan biasanya hewan
berperilaku aneh apabila ada kejadian alam yang berbahaya, kalau bencana
gunung berapi yang mengeluarkan asap beracun dapat memanfaatkan hewan
untuk berlari menghindar.
- Manfaatkan corong-corong yang ada baik di Gereja, Mesjid untuk
menginformasikan secepat mungkin apabila terjadi gempa atau gejala tsunami
- Barang-barang yang paling penting untuk tindakan penyelamatan yang perlu
disediakan adalah makanan dan minuman instant serta lampu senter.
WEBSITE yg bisa menambah pengetahuan tentang GEMPA BUMI
1. Bagaimana anak2 menyelamatkan diri pada saat gempa:
http://www.youtube.com/watch?v=ItcPIAn5ESc&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=bAHNhtRT50A&feature=related
2.Belajar ilmu Gempa
http://www.iris.edu/hq/
3.Peta Zonasi Gempa yg baru 2010
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/peta10_50.jpg
4.Software gempa USGS
http://earthquake.usgs.gov/hazards/designmaps/
5.Lomba Anak SMU mendesain gedung tahan gempa
http://www.youtube.com/watch?v=u0QQHv4Pcgw&feature=related
Sulawesi Utara dikelilingi oleh 7 Lempengan 2 Patahan dan Busur Gunung Berapi, lihat peta gempa 2010
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/peta10_50.jpg
7 Lempengan:
- Eurasia Plate (Lempengan Eurasia),
- Philipine Plate (Lempengan Philipina),
- Pacific Plate (Lempengan Pacific)
- Australia Plate (Lempengan Australia),
- Sangihe Plate (Lempengan Sangihe),
- Moluca Sea Plate (Lempengan Laut Maluku)
- Halmahera Plate (Lempengan Halmahera).
2 Patahan yang berpengaruh diSULUT:
- Patahan Palu Koro
- Patahan Gorontalo
- Patahan Sorong
3 Patahan Lokal :
- Patahan Manado
- Patahan Amurang
- Patahan Bolmong
Dengan kondisi seperti diatas maka SULUT sangat berpotensi terjadi Gempa
Bumi,Tsunami,Banjir dan Longsor. Untuk itulah mari kita memberi pendidikan
kepada masyarakat SULUT untuk supaya lebih memahami tentang bencana sehingga
resiko-resiko yg ditimbulkan oleh bencana alam dapat diMitigasi dengan cara
Membangun Masyarakat Sulut Sadar Bencana. Lewat event ini kita bisa saling
tukar pengalaman untuk lebih memahami dan ikut memasyarakatkan resiko-resiko
dan cara-cara mengenal fenemona terjadinya Bencana Alam di SULUT
Dua cara mitigasi Gempa :
I. Usaha mitigasi gempa dan tsunami secara teknik
1. Perlunya penerapan IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) dan IPB(Ijin Penggunaan
Bangunan) secara ketat untuk bangunan diatas dua tingkat baik bangunan pribadi
maupun bangunan publik. IMB diberikan oleh instansi pemerintah terkait
sedangkan IPB diberikan oleh Tim Independen yang diambil dari Fakultas Teknik,
Kimpraswil, Pertambangan, Lingkungan Hidup dengan tugas mengadakan pengujian
hasil perhitungan yang telah direncanakan oleh pihak pengemban. Hal ini perlu
didukung oleh PERDA
2. Beban Gempa adalah beban Dinamis sedangkan analisa bebannya dapat
menggunanakan cara statis seperti menggunakan rumus-rumus statis serta
koefisien-koefisien gempa yang mengacu pada peraturan standart pembebanan gempa
di Indonesia,sedangkan cara dinamis dapat menggunakan analisa numerik dengan
bantuan program seperti yg terdapat pada web belajar ilmu gempa
http://www.iris.edu/hq/ yang menggunakan data langsung dari alat seismograf
dll
3. Perlunya pemasangan alat berbasis teknologi informasi seperti Global Earlier
Warning System untuk pencegahan bahaya tsunami
4. Perlunya pengadaan Laboratorium Gempa di Fakultas Tenik yang berisi
perlatan seperti Shacker Table, Seismograf untuk melakukan penelitian lebih
lanjut masalah gempa dan tsunami serta data riwayat gempa dan tanah yg cukup
lengkap
5. Perlunya pemberian matapelajaran mengenai pengenalan dan penanggulangan
gempa disekolah sekolah seperti
http://www.youtube.com/watch?v=ItcPIAn5ESc&feature=related , sementara untuk
matakuliah di jurusan yang terkait dengan bangunan teknik sipil dalam
analisanya perlu menghitung pengaruh gempa.
6. Perlu adanya badan penanggulangan gempa yang terdiri dari orang-orang yang
terlatih dalam penangan masalah gempa dan tsunami
7. Perlu penataan tata ruang selain mengontrol keindahan dan penataan bangunan
juga untuk mengatur lokasi-lokasi seperti bangunan ataupun areal yang dapat
dijadikan sebagai tempat penyelamatan pada saat terjadi gempa ataupun tsunami
II. Usaha mitigasi secara non teknik :
Usaha mitigasi secara non teknik yaitu dengan menggunakan rumus sbb :
Resiko Gempa = Bencana Gempa/Ketahanan Masyarakat
Jadi dari formula diatas dapat dilihat jelas bahwa untuk memitigasi Resiko
Gempa maka upaya upaya yang diperlukan adalah Memberdayakan Ketahanan
Masyarakat yaitu dengan Mengetahui Tentang Asal Mula Terjadinya Gempa, Memahami
Peringatan Dini, Sadar Akan Resiko, Serta Paham Bagaimana Menghadapi Musibah
Gempa. upaya upaya untuk membangun Ketahanan Masyarakat dapat diikuti sebagai
berikut :
1. Memahami tentang terjadinya gempa :
Masyarakat harus mengetahui tentang bagaimana terjadinya gempa
Secara umum Gempa bumi terdiri dari :
- Gempa Vulkanik (terjadi akibat proses pada gunung berapi seperti letusan
gunung berapi),
- Gempa Tektonik (Terjadi akibat proses pergeseran lempengan atau patahan dalam
perut bumi)
- Gempa akibat adanya jatuhan Benda Angkasa seperti Meteor
- Gempa diakibatkan oleh percobaan Nuklir.
Adapun Tsunami dapat diartikan sebagai :
Gelombang yang mempunyai daya rusak cukup tinggi dan disebabkan oleh Gempa baik
gempa vulkanik, gempa tektonik, jatuhan meteor ataupun percobaan nuklir yang
terjadi dilaut.
2. Cara cara memahami peringatan dini dapat dilihat sebagai berikut :
- Masyarakat Sulawesi Utara harus menyadari bahwa daerah yang kita huni ini
adalah daerah rawan gempa.
- Gejala terjadinya tsunami biasanya terjadi setelah gempa antara 3 – 60 menit
bagi masyarakat yang berada disekitar pantai dapat melihat apabila air laut
surut secara tiba-tiba maka segera mencari tempat ketinggian yang kuat seperti
bangunan bertingkat, bukit, pohon diatas 5 m.
- Apabila Gempa anak-anak sekolah dilatih secara otomatis masuk dibawah
meja belajar masing-masing dengan posisi jongkok. Kalau berada diluar
ruangan mencari lapangan yang terbuka jauh dari bangunan-bangunan apalagi
bangunan bertingkat.
- Apabila Gempa masyarakat yang berada digedung bertingkat segera mencari
tempat berlindung seperti masuk dibawah meja untuk berlindung dari jatuhnya
benda-benda yang berbahaya bagi manusia tidak perlu berlarian keluar gedung
karena kalau Gempa yang berkekuatan cukup tinggi diatas 7 M maka dapat
terjadi keruntuhan bangunan maka tindakan berlari keluar percuma saja.
- Perhatikan pula tanda-tanda alam seperti perilaku Hewan biasanya hewan
berperilaku aneh apabila ada kejadian alam yang berbahaya, kalau bencana
gunung berapi yang mengeluarkan asap beracun dapat memanfaatkan hewan
untuk berlari menghindar.
- Manfaatkan corong-corong yang ada baik di Gereja, Mesjid untuk
menginformasikan secepat mungkin apabila terjadi gempa atau gejala tsunami
- Barang-barang yang paling penting untuk tindakan penyelamatan yang perlu
disediakan adalah makanan dan minuman instant serta lampu senter.
WEBSITE yg bisa menambah pengetahuan tentang GEMPA BUMI
1. Bagaimana anak2 menyelamatkan diri pada saat gempa:
http://www.youtube.com/watch?v=ItcPIAn5ESc&feature=related
http://www.youtube.com/watch?v=bAHNhtRT50A&feature=related
2.Belajar ilmu Gempa
http://www.iris.edu/hq/
3.Peta Zonasi Gempa yg baru 2010
http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/peta10_50.jpg
4.Software gempa USGS
http://earthquake.usgs.gov/hazards/designmaps/
5.Lomba Anak SMU mendesain gedung tahan gempa
http://www.youtube.com/watch?v=u0QQHv4Pcgw&feature=related
Selasa, 16 November 2010
Modulus Elastisitas Tanah E50
Re: [forum-geoteknik-indonesia] Antara E-50, E-ur, Ei, dan Modulus dari wave equation
From:haje
mas Khoiri,
Ini pendapat saya:
1. Berapakah rasio antara E-50 (modulus 50% stress) dan E-ur (modulus unloadinjavascript:void(0)g-reloading) untuk kebanyakan tanah?, dan apakah berbeda antara cohessive soil dan cohessiveless soil?. Info sementara yang saya tahu menurut default manual Plaxis pada HS-model E-ur = 3xE-50. Tapi menurut Finno dalam salah satu papernya untuk clay rasionya 2.7 dan untuk sand 3
> Modulus tanah dipengaruhi banyak hal termasuk tipe tanah (sand/clay), effectve stress, plasticity, void ratio, moisture content, OCR (spt yg pak Gouw sampaikan), kecepatan pembebanan, senistivity dll. Oki ratio E50 dan E-ur akan berbeda tergantung dari berbagai faktor di atas.
> Secara definisi, E50 adalah secant modulus pada saat stress level=50%, atau dengan kata lain pembebanan mencapai 50% dari beban runtuh, atau mempunyai faktor keamanan =2.
> Sedangkan E-ur adalah modulus unload-reload), yg mirip bahkan bisa dianggap sama dengan initial modulus pada regangan kecil (small strain), walaupun biasanya Ei yg diperoleh dari triaxial test lebih kecil dari E-ur dikarenakan oleh gangguan sampel.
> Ratio antara E50 dan Eu bisa tergantung dari regangan pada E50, tapi berkisar antar 2 sampai 10.(!!). Utk clay bisa 3 sampai 5, tergantung plastisitasnya.
> Pernah nge-run program SHAKE? Disitu ada kurva hubungan antara G/Gmax utk berbagai regangan, utk tiap macam tanah. Kita tinggal menentukan tipe tanahnya, sand atau clay. kalau clay berapa plastisitasnya, lantas lihat regangan pada saat stress level 50% dan berapa ratio G/Gmaxnya.
> Kalau mau baca lebih banyak silakan lihat "Manual for estimating soil properties for foundation design" karangan Mayne and KULHAWY, yg linknya bisa dilihat di website FGI.
>
> 2. Apa yang mempengaruhi rasio tersebut diatas? Lihat jawaban di atas.
>
> 3. Apakah modulus (E ) yang didapatkan dari wave equation dapat digunakan untuk kasus pembebanan statik (pondasi atau deep excavation)?, mengingat modulus dari wave equation kan berdasarkan 'small strain'sehingga modulusnya cenderung sangat besar, sedangkan peristiwa pembebanan statik umumnya 'large strain' dengan modulus yg lebih kecil.
>
> Kalau yg anda maksud adalah gmax=ro*vs^2, maka jawabannya adalah ya. tapi yg anda dapat adalah Shear modulus (G). Harus di ubah dulu ke Secant modulus (E) dg rumus ini:
E=2*(1+mu)*G; dimana mu adalah possion ratio.
Kalau utk pondasi, tergantung dari stress levelnya. Spt kata pak Gouw, pondasi yg termobilisasi sampai stress level 50% (atau FOS=2) adalah large strains.
Kalau utk galian, menurut hemat saya, bisa dipakai utk tanah yg berada di bawah tanah galian (yg mengalami heave). tapi utk tanah di dinding kemungkinan akan menghasilkan deformasi yg terlalu kecil, karena tanah dinding ini mengalami unloading tapi dlm kondisi plane strain. Kalau mau, ubah Gmax yg anda dari perhitungan shear wave velocity ke modulus dlm kondisi plane strain. Rumusnya? Lihat buku lambe and Whitman.
Tapi sebaiknya lakukan dulu kalibrasi dg kasus deep excavation dari site yg mempunyai kondisi tanah yg mirip dan hitung balik (back analyse) modulusnya.
> 4. Adakah modulus dari hasil wave equation tsb 'berkerabat dekat' dengan Ei (E initial) pada hyperbolic model stress-strain relationship tanah (utk kasus static loading)?.
Itu adalah saudara kembarnya. Yg membedakan hanya lah faktor 2(1+mu) saja.
Jangan lupa, Ei yg didapat dari TX test sangat terpengaruh dg gangguan sample. kalau faktor gangguna ini dihilangkan, maka hasilnya akan mirip.
Semoga tidak memusingkan..kalau pusing juga..salah sendiri kenapa nanya..:-)..
Sekali lagi baca buku Mayne dan Kulhawy yg saya kutip di atas...:-)..
salam,
haje
2010/11/13 GTL
Pak Khoiri,
Ratio tsb bisa diambil dari kebalikan perbadingan antar Cs dan Cc dari test konsolidasi.
Umumnya berkisar 1-5
Untuk no 2 - stress history berpengaruh.
Untuk no 3 - tidak bisa, beban pondasi yg didesign dengan F K 2-3 tidak masuk dalam kategori small strain
Untuk no 4 - menurut hemat saya, masih lebih besar yg didapat dari wave equation. Umimnya E wave equation didapat dari dynamic loading dgn strain yg sangat kecil. Teman2 yg sering bekerja or riset di lab pasti bisa berikan jawaban lebih bagus.
Best Regards,
GOUW Tjie Liong
Senior Geotechnical Consultant
Senior Financial Services Consultant
Agent of Geotechnical Softwares (Plaxis, Geo5, etc)
Provider of PIT, Sonic Logging, Instrumentatio
On Nov 12, 2010, at 15:37, Mohamad Khoiri wrote:
> Dear rekan2 millis,
>
> Barangkali ada yang bisa membantu untuk menjelaskan beberapa hal berikut :
>
> 1. Berapakah rasio antara E-50 (modulus 50% stress) dan E-ur (modulus unloading-reloading) untuk kebanyakan tanah?, dan apakah berbeda antara cohessive soil dan cohessiveless soil?. Info sementara yang saya tahu menurut default manual Plaxis pada HS-model E-ur = 3xE-50. Tapi menurut Finno dalam salah satu papernya untuk clay rasionya 2.7 dan untuk sand 3.
> 2. Apa yang mempengaruhi rasio tersebut diatas?
> 3. Apakah modulus (E ) yang didapatkan dari wave equation dapat digunakan untuk kasus pembebanan statik (pondasi atau deep excavation)?, mengingat modulus dari wave equation kan berdasarkan 'small strain'
> sehingga modulusnya cenderung sangat besar, sedangkan peristiwa pembebanan statik umumnya 'large strain' dengan modulus yg lebih kecil.
> 4. Adakah modulus dari hasil wave equation tsb 'berkerabat dekat' dengan Ei (E initial) pada hyperbolic model stress-strain relationship tanah (utk kasus static loading)?
>
> Terimakasih banyak
>
> Salam hangat
>
> M Khoiri
From:haje
mas Khoiri,
Ini pendapat saya:
1. Berapakah rasio antara E-50 (modulus 50% stress) dan E-ur (modulus unloadinjavascript:void(0)g-reloading) untuk kebanyakan tanah?, dan apakah berbeda antara cohessive soil dan cohessiveless soil?. Info sementara yang saya tahu menurut default manual Plaxis pada HS-model E-ur = 3xE-50. Tapi menurut Finno dalam salah satu papernya untuk clay rasionya 2.7 dan untuk sand 3
> Modulus tanah dipengaruhi banyak hal termasuk tipe tanah (sand/clay), effectve stress, plasticity, void ratio, moisture content, OCR (spt yg pak Gouw sampaikan), kecepatan pembebanan, senistivity dll. Oki ratio E50 dan E-ur akan berbeda tergantung dari berbagai faktor di atas.
> Secara definisi, E50 adalah secant modulus pada saat stress level=50%, atau dengan kata lain pembebanan mencapai 50% dari beban runtuh, atau mempunyai faktor keamanan =2.
> Sedangkan E-ur adalah modulus unload-reload), yg mirip bahkan bisa dianggap sama dengan initial modulus pada regangan kecil (small strain), walaupun biasanya Ei yg diperoleh dari triaxial test lebih kecil dari E-ur dikarenakan oleh gangguan sampel.
> Ratio antara E50 dan Eu bisa tergantung dari regangan pada E50, tapi berkisar antar 2 sampai 10.(!!). Utk clay bisa 3 sampai 5, tergantung plastisitasnya.
> Pernah nge-run program SHAKE? Disitu ada kurva hubungan antara G/Gmax utk berbagai regangan, utk tiap macam tanah. Kita tinggal menentukan tipe tanahnya, sand atau clay. kalau clay berapa plastisitasnya, lantas lihat regangan pada saat stress level 50% dan berapa ratio G/Gmaxnya.
> Kalau mau baca lebih banyak silakan lihat "Manual for estimating soil properties for foundation design" karangan Mayne and KULHAWY, yg linknya bisa dilihat di website FGI.
>
> 2. Apa yang mempengaruhi rasio tersebut diatas? Lihat jawaban di atas.
>
> 3. Apakah modulus (E ) yang didapatkan dari wave equation dapat digunakan untuk kasus pembebanan statik (pondasi atau deep excavation)?, mengingat modulus dari wave equation kan berdasarkan 'small strain'sehingga modulusnya cenderung sangat besar, sedangkan peristiwa pembebanan statik umumnya 'large strain' dengan modulus yg lebih kecil.
>
> Kalau yg anda maksud adalah gmax=ro*vs^2, maka jawabannya adalah ya. tapi yg anda dapat adalah Shear modulus (G). Harus di ubah dulu ke Secant modulus (E) dg rumus ini:
E=2*(1+mu)*G; dimana mu adalah possion ratio.
Kalau utk pondasi, tergantung dari stress levelnya. Spt kata pak Gouw, pondasi yg termobilisasi sampai stress level 50% (atau FOS=2) adalah large strains.
Kalau utk galian, menurut hemat saya, bisa dipakai utk tanah yg berada di bawah tanah galian (yg mengalami heave). tapi utk tanah di dinding kemungkinan akan menghasilkan deformasi yg terlalu kecil, karena tanah dinding ini mengalami unloading tapi dlm kondisi plane strain. Kalau mau, ubah Gmax yg anda dari perhitungan shear wave velocity ke modulus dlm kondisi plane strain. Rumusnya? Lihat buku lambe and Whitman.
Tapi sebaiknya lakukan dulu kalibrasi dg kasus deep excavation dari site yg mempunyai kondisi tanah yg mirip dan hitung balik (back analyse) modulusnya.
> 4. Adakah modulus dari hasil wave equation tsb 'berkerabat dekat' dengan Ei (E initial) pada hyperbolic model stress-strain relationship tanah (utk kasus static loading)?.
Itu adalah saudara kembarnya. Yg membedakan hanya lah faktor 2(1+mu) saja.
Jangan lupa, Ei yg didapat dari TX test sangat terpengaruh dg gangguan sample. kalau faktor gangguna ini dihilangkan, maka hasilnya akan mirip.
Semoga tidak memusingkan..kalau pusing juga..salah sendiri kenapa nanya..:-)..
Sekali lagi baca buku Mayne dan Kulhawy yg saya kutip di atas...:-)..
salam,
haje
2010/11/13 GTL
Pak Khoiri,
Ratio tsb bisa diambil dari kebalikan perbadingan antar Cs dan Cc dari test konsolidasi.
Umumnya berkisar 1-5
Untuk no 2 - stress history berpengaruh.
Untuk no 3 - tidak bisa, beban pondasi yg didesign dengan F K 2-3 tidak masuk dalam kategori small strain
Untuk no 4 - menurut hemat saya, masih lebih besar yg didapat dari wave equation. Umimnya E wave equation didapat dari dynamic loading dgn strain yg sangat kecil. Teman2 yg sering bekerja or riset di lab pasti bisa berikan jawaban lebih bagus.
Best Regards,
GOUW Tjie Liong
Senior Geotechnical Consultant
Senior Financial Services Consultant
Agent of Geotechnical Softwares (Plaxis, Geo5, etc)
Provider of PIT, Sonic Logging, Instrumentatio
On Nov 12, 2010, at 15:37, Mohamad Khoiri
> Dear rekan2 millis,
>
> Barangkali ada yang bisa membantu untuk menjelaskan beberapa hal berikut :
>
> 1. Berapakah rasio antara E-50 (modulus 50% stress) dan E-ur (modulus unloading-reloading) untuk kebanyakan tanah?, dan apakah berbeda antara cohessive soil dan cohessiveless soil?. Info sementara yang saya tahu menurut default manual Plaxis pada HS-model E-ur = 3xE-50. Tapi menurut Finno dalam salah satu papernya untuk clay rasionya 2.7 dan untuk sand 3.
> 2. Apa yang mempengaruhi rasio tersebut diatas?
> 3. Apakah modulus (E ) yang didapatkan dari wave equation dapat digunakan untuk kasus pembebanan statik (pondasi atau deep excavation)?, mengingat modulus dari wave equation kan berdasarkan 'small strain'
> sehingga modulusnya cenderung sangat besar, sedangkan peristiwa pembebanan statik umumnya 'large strain' dengan modulus yg lebih kecil.
> 4. Adakah modulus dari hasil wave equation tsb 'berkerabat dekat' dengan Ei (E initial) pada hyperbolic model stress-strain relationship tanah (utk kasus static loading)?
>
> Terimakasih banyak
>
> Salam hangat
>
> M Khoiri
Senin, 08 November 2010
POLA PENGENDALIAN BANJIR DI SULUT
POLA PENGENDALIAN BANJIR DI SULUT
Oleh : DR. Fabian J. Manoppo
Masalah Banjir :
Sulawesi Utara tercatat telah beberapa kali mengalami masalah banjir yang telah menimbulkan kerugian materil dan korban jiwa seperti banjir tahun 1996, tahun 2000 dan 2006. Dari analisa sementara penulis masalah banjir yang terjadi ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang intinya disebabkan oleh manusia baik pemerintah maupun masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain lemahnya Law Enforcement pemerintah dalam menjalankan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat contohnya Peraturan Pemerintah No.35/1991 tentang Sungai. Peraturan pemerintah ini mengatur tentang penguasaan sungai, fungsi sungai, wewenang dan tanggung jawab pembinaan, perencanaan sungai, pembangunan bangunan sungai, eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai, pembangunan, pengelolaan dan pengamanan waduk, penanggulangan bahaya banjir, pengamanan sungai dan bangunan sungai, kewajiban dan larangan, pembiayaan, pengawasan, ketentuan pidana, serta ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan dan lain-lain. Dalam hal penguasaan sungai diatur bahwa sungai dikuasai oleh negara yang poelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini menteri. Menteri menetapkan garis sempadan sungai, pengaturan daerah manfaat sungai dan daerah penguasaan sungai, serta pengaturan bekas sungai. Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai yang belum dilimpahkan kepada badan usahamilik negara, dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka tugas perbantuan. Perencanaan sungai pembangunan bangunan sungai, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai, serta pembangunan waduk yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum, dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau badan usaha milik Negara berdasarkan kesatuan wilayah sungai yang berada dibawah wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Dalam rangka penanggulangan banjir, koordinasinya dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah dengan mengikut sertakan instansi Pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan. Upaya pengamanan sungai dan daerah sekitarnya meliputi :
Pengelolaan daerah pengairan sungai, Pengendalian daya rusak air, Pengendalian pengaliran sungai. Beberapa kewajiban dan larangan antara lain : Masyarakat wajib ikut serta menjaga kelestarian rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam rangka pembinaan sungai, Dilarang mengubah aliran sungai tanpa izin, Dilarang mendirikan, mengubah dan membongkar bangunan-bangunan didalam atau melintas sungai tanpa izin, Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan berupa limbah kedalam maupun sekitar sungai yang dapat membahayakan dan atau merugikan pengguna air yang lain dan lingkungan, Dilarang menggunakan air sungai selain untuk keperluan pokok sehari-hari tanpa izin, Pengerukan, penggalian dan pengambilan bahan-bahan galian pada sungai hanya dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan dan hal ini diatur lebih lanjut oleh pejabat yang berwenang. Faktor lainnya seperti terjadi pembabatan hutan , tidak adanya master plan untuk pengendalian banjir, terjadinya urban/ pembangunan yang tidak memperhatikan daerah resapan yang akibatnya jumlah air permukaan (air runoff) menjadi lebih banyak dll.
Untuk itu penanganan masalah banjir di Sulawesi Utara tidak bisa hanya dilakukan secara parsial atau hanya setempat setempat dengan melakukan perbaikan dimana titik titik atau daerah yang ada disungai yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun harus dilakukan secara holistic/komprehensif atau dengan kata lain melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat langsung dalam permasalahan banjir dimana harus dicari sedetail mungkin akar permasalahan apakah memang terjadi akibat luapan dari sungai, air runoff (air permukaan) yang disebabkan oleh keadaan topografi yang datar serta sistem drainase yang jelek atau pengaruh pasang surut daerah hilir sungai, pembabatan hutan, akibat urbanisasi/pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dimana beberapa studi untuk areal hutan (forest) air yang meresap kedalam tanah sekitar 80% yang menjadi air runoff(air permukaan) 20%, daerah tempat tinggal (resindential) sekitar 50% yang meresap kedalam tanah sementara daerah perkotaan (urban) tinggal 10% air yang meresap kedalam tanah sisanya 90% menjadi air runoff yang berpotensi menimbulkan banjir, serta pengaruh pengaruh lainnya didaerah yang mengalami banjir baru kemudian dicari cara cara penanggulangan setiap detail masalah dengan memperhatikan beberapa aspek seperti sosial, hukum dan ekonomi. Dalam pola penanganan banjir secara holistic/komprehensif juga harus dianalisa dalam jangka waktu yang cukup lama dan melibatkan semua instansi terkait serta masyarakat.
Beberapa Metode Pengendalian Bencana Banjir :
1. Membuat Simulasi Banjir
Maksud dan tujuan adalah untuk mengetahui keseimbangan antara kemampuan sungai (penampang sungai) dalam mengalirkan air apakah mampu untuk menampung air dalam kondisi banjir (debit banjir Q).
Proses analisanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Menghitung debit sungai di lapangan langsung dari data AWLR atau pengukuran lngsung di lapangan dengan metoda pengukuran yang tersedia.
b. Menghitung Debit Banjir Rencana (Qbanjir rencana) dengan teori berdasarkan rumus-rumus empiris yang berlaku.
c. Debit banjir yang diperoleh berdasarkan pengukuran dan perhitungan tersebut di atas kemudian di plot ke peta profil memanjang dan melintang sungai untuk memperoleh daerah luapan dan genangan akibat banjir tersebut dengan bantuan software komputer untuk simulasi banjir
2. Mengadakan pengukuran Topografi dan informasi mengenai Morfologi Sungai.
Maksud dan Tujuan untuk mendapat gambaran jelas mengenai kondisi topografi dan profil/penampang. Dalam pengukuran ini juga diadakan inventarisasi mengenai kondisi morfologi sungai atau dengan kata lain DAS, tebing sungai atau cekungan sungai. Dengan mengetahui profil sungai dan debit banjir rancangan maka kita dapat melihat seberapa besar kemampuan sungai menampung air pada saat banjir apakah terjadi limpasan air dari sungai dan pada titik titik mana terjadi limpasan selanjutnya baru diadakan perlakuan seperti membuat embung, sudetan, retarding bazin, dry detension bazin, groundsill, bronjong, tembok pengendali banjir, rivertment dll.
Dengan data debit banjir yang ada kita bisa memprediksi besarnya air yang melimpah dari sungai ataupun air runoff (air permukaan) akibat topografi yang datar serta sejauh mana pengaruh adanya pasang surut air laut pada setiap sungai akibat debit banjir yang ada.
3. Upaya-upaya Pengendalian Secara Struktural
Ada beberapa upaya yang bersifat rekayasa teknik sipil yang dapat diterapkan untuk system pengendalian banjir dimana pada prinsipnya bertujuan untuk memodifikasi besaran-besaran banjir dan tingkat kerawanan seperti, Pembuatan Tanggul (Leeve, FloodWall) ini merupakan cara yang paling banyak digunakan diIndonesia, Pengaturan Alur Sungai (Memperluas Penampang Basah Sungai, Sudetan, GroundSill, Rivertment dll) , Saluran Pengelak Banjir (Diversion Channel), Waduk/Embung Pengendali Banjir, Penataan Drainase Kota, OnSite Stormwater Disposal System (Soakwell, Pavement, Infiltration Trench, Retention Pond), Penahan Erosi Tebing.
4. Upaya-upaya Non Struktural
a. Pengelolaan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang mencakup hal-hal, Pencagaran Vegetasi (hutan) terutama dibagian hulu, Pengaturan tata pengolahan lahan, Usaha pengendalian kemiringan dan erosi, penanaman tanaman pencegah erosi.
b. Pengendalian dan Pengelolaan Daerah Rawan Banjir dimana hasil pemetaan daerah rawan banjir diatas harus diikuti oleh pembuatan Perda dimana akan membatasi atau mencegah pembangunan baru pada daerah yang beresiko banjir, mencegah timbulnya kegiatan kegiatan baru yang akan menempati daerah genangan dan akan menambah dalam daerah genangan banjir..
c. Program Kali Bersih (PROKASIH) dan Program Drainase Bersih (PRODRASI) yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
d. Perlunya sistem peringatan dini, Pengembangan system Information Teknologi and Communication (ICT) dalam bentuk data base berbasis Internet.
e. Peningkatan kesadaran masyarakat (Community Awarness)
Semua konsep yang ditawarkan diatas tinggal dipilih dan dikaji mana yang cocok untuk dikembangkan ditiap kota, kabupaten yang ada di Sulawesi Utara selanjutnya dibuat dalam bentuk Master Plan Pola Penanganan Banjir secara komprehensif/holistic ditingkat propinsi, master plan ini harus diperkuat dengan peraturan daerah yang mengacu pada peraturan pemerintah pusat dan diwujud nyatakan dalam Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten sebagai Blue Print perencanaan pembangunan kota/kabupaten yang harus dievaluasi minimal setahun sekali. Demikian juga untuk masalah masalah lain karena masih banyak ancaman lain yang ada didaerah kita Sulawesi Utara tercinta seperti ancaman longsor (land slide), gempa bumi (earth quake) yang dapat menyebabkan Tsunami, buta teknologi (digital divide) yang harus mendapat perhatian yang sama oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara.Akhir kata penulis ingin menyampaikan bahwa manusia hanya dapat berusaha untuk meminimalkan resiko bencana dengan berupaya miningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana namun tak kalah penting adalah peningkatan kualitas iman sesuai dengan kepercayaan masing-masing untuk lebih memahami arti hidup. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Oleh : DR. Fabian J. Manoppo
Masalah Banjir :
Sulawesi Utara tercatat telah beberapa kali mengalami masalah banjir yang telah menimbulkan kerugian materil dan korban jiwa seperti banjir tahun 1996, tahun 2000 dan 2006. Dari analisa sementara penulis masalah banjir yang terjadi ini diakibatkan oleh beberapa faktor yang intinya disebabkan oleh manusia baik pemerintah maupun masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain lemahnya Law Enforcement pemerintah dalam menjalankan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat contohnya Peraturan Pemerintah No.35/1991 tentang Sungai. Peraturan pemerintah ini mengatur tentang penguasaan sungai, fungsi sungai, wewenang dan tanggung jawab pembinaan, perencanaan sungai, pembangunan bangunan sungai, eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai, pembangunan, pengelolaan dan pengamanan waduk, penanggulangan bahaya banjir, pengamanan sungai dan bangunan sungai, kewajiban dan larangan, pembiayaan, pengawasan, ketentuan pidana, serta ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan dan lain-lain. Dalam hal penguasaan sungai diatur bahwa sungai dikuasai oleh negara yang poelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini menteri. Menteri menetapkan garis sempadan sungai, pengaturan daerah manfaat sungai dan daerah penguasaan sungai, serta pengaturan bekas sungai. Wewenang dan tanggung jawab pembinaan sungai yang belum dilimpahkan kepada badan usahamilik negara, dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam rangka tugas perbantuan. Perencanaan sungai pembangunan bangunan sungai, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sungai, serta pembangunan waduk yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum, dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah atau badan usaha milik Negara berdasarkan kesatuan wilayah sungai yang berada dibawah wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Dalam rangka penanggulangan banjir, koordinasinya dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah dengan mengikut sertakan instansi Pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan. Upaya pengamanan sungai dan daerah sekitarnya meliputi :
Pengelolaan daerah pengairan sungai, Pengendalian daya rusak air, Pengendalian pengaliran sungai. Beberapa kewajiban dan larangan antara lain : Masyarakat wajib ikut serta menjaga kelestarian rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam rangka pembinaan sungai, Dilarang mengubah aliran sungai tanpa izin, Dilarang mendirikan, mengubah dan membongkar bangunan-bangunan didalam atau melintas sungai tanpa izin, Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan berupa limbah kedalam maupun sekitar sungai yang dapat membahayakan dan atau merugikan pengguna air yang lain dan lingkungan, Dilarang menggunakan air sungai selain untuk keperluan pokok sehari-hari tanpa izin, Pengerukan, penggalian dan pengambilan bahan-bahan galian pada sungai hanya dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan dan hal ini diatur lebih lanjut oleh pejabat yang berwenang. Faktor lainnya seperti terjadi pembabatan hutan , tidak adanya master plan untuk pengendalian banjir, terjadinya urban/ pembangunan yang tidak memperhatikan daerah resapan yang akibatnya jumlah air permukaan (air runoff) menjadi lebih banyak dll.
Untuk itu penanganan masalah banjir di Sulawesi Utara tidak bisa hanya dilakukan secara parsial atau hanya setempat setempat dengan melakukan perbaikan dimana titik titik atau daerah yang ada disungai yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Namun harus dilakukan secara holistic/komprehensif atau dengan kata lain melibatkan seluruh stakeholder yang terlibat langsung dalam permasalahan banjir dimana harus dicari sedetail mungkin akar permasalahan apakah memang terjadi akibat luapan dari sungai, air runoff (air permukaan) yang disebabkan oleh keadaan topografi yang datar serta sistem drainase yang jelek atau pengaruh pasang surut daerah hilir sungai, pembabatan hutan, akibat urbanisasi/pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dimana beberapa studi untuk areal hutan (forest) air yang meresap kedalam tanah sekitar 80% yang menjadi air runoff(air permukaan) 20%, daerah tempat tinggal (resindential) sekitar 50% yang meresap kedalam tanah sementara daerah perkotaan (urban) tinggal 10% air yang meresap kedalam tanah sisanya 90% menjadi air runoff yang berpotensi menimbulkan banjir, serta pengaruh pengaruh lainnya didaerah yang mengalami banjir baru kemudian dicari cara cara penanggulangan setiap detail masalah dengan memperhatikan beberapa aspek seperti sosial, hukum dan ekonomi. Dalam pola penanganan banjir secara holistic/komprehensif juga harus dianalisa dalam jangka waktu yang cukup lama dan melibatkan semua instansi terkait serta masyarakat.
Beberapa Metode Pengendalian Bencana Banjir :
1. Membuat Simulasi Banjir
Maksud dan tujuan adalah untuk mengetahui keseimbangan antara kemampuan sungai (penampang sungai) dalam mengalirkan air apakah mampu untuk menampung air dalam kondisi banjir (debit banjir Q).
Proses analisanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Menghitung debit sungai di lapangan langsung dari data AWLR atau pengukuran lngsung di lapangan dengan metoda pengukuran yang tersedia.
b. Menghitung Debit Banjir Rencana (Qbanjir rencana) dengan teori berdasarkan rumus-rumus empiris yang berlaku.
c. Debit banjir yang diperoleh berdasarkan pengukuran dan perhitungan tersebut di atas kemudian di plot ke peta profil memanjang dan melintang sungai untuk memperoleh daerah luapan dan genangan akibat banjir tersebut dengan bantuan software komputer untuk simulasi banjir
2. Mengadakan pengukuran Topografi dan informasi mengenai Morfologi Sungai.
Maksud dan Tujuan untuk mendapat gambaran jelas mengenai kondisi topografi dan profil/penampang. Dalam pengukuran ini juga diadakan inventarisasi mengenai kondisi morfologi sungai atau dengan kata lain DAS, tebing sungai atau cekungan sungai. Dengan mengetahui profil sungai dan debit banjir rancangan maka kita dapat melihat seberapa besar kemampuan sungai menampung air pada saat banjir apakah terjadi limpasan air dari sungai dan pada titik titik mana terjadi limpasan selanjutnya baru diadakan perlakuan seperti membuat embung, sudetan, retarding bazin, dry detension bazin, groundsill, bronjong, tembok pengendali banjir, rivertment dll.
Dengan data debit banjir yang ada kita bisa memprediksi besarnya air yang melimpah dari sungai ataupun air runoff (air permukaan) akibat topografi yang datar serta sejauh mana pengaruh adanya pasang surut air laut pada setiap sungai akibat debit banjir yang ada.
3. Upaya-upaya Pengendalian Secara Struktural
Ada beberapa upaya yang bersifat rekayasa teknik sipil yang dapat diterapkan untuk system pengendalian banjir dimana pada prinsipnya bertujuan untuk memodifikasi besaran-besaran banjir dan tingkat kerawanan seperti, Pembuatan Tanggul (Leeve, FloodWall) ini merupakan cara yang paling banyak digunakan diIndonesia, Pengaturan Alur Sungai (Memperluas Penampang Basah Sungai, Sudetan, GroundSill, Rivertment dll) , Saluran Pengelak Banjir (Diversion Channel), Waduk/Embung Pengendali Banjir, Penataan Drainase Kota, OnSite Stormwater Disposal System (Soakwell, Pavement, Infiltration Trench, Retention Pond), Penahan Erosi Tebing.
4. Upaya-upaya Non Struktural
a. Pengelolaan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang mencakup hal-hal, Pencagaran Vegetasi (hutan) terutama dibagian hulu, Pengaturan tata pengolahan lahan, Usaha pengendalian kemiringan dan erosi, penanaman tanaman pencegah erosi.
b. Pengendalian dan Pengelolaan Daerah Rawan Banjir dimana hasil pemetaan daerah rawan banjir diatas harus diikuti oleh pembuatan Perda dimana akan membatasi atau mencegah pembangunan baru pada daerah yang beresiko banjir, mencegah timbulnya kegiatan kegiatan baru yang akan menempati daerah genangan dan akan menambah dalam daerah genangan banjir..
c. Program Kali Bersih (PROKASIH) dan Program Drainase Bersih (PRODRASI) yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
d. Perlunya sistem peringatan dini, Pengembangan system Information Teknologi and Communication (ICT) dalam bentuk data base berbasis Internet.
e. Peningkatan kesadaran masyarakat (Community Awarness)
Semua konsep yang ditawarkan diatas tinggal dipilih dan dikaji mana yang cocok untuk dikembangkan ditiap kota, kabupaten yang ada di Sulawesi Utara selanjutnya dibuat dalam bentuk Master Plan Pola Penanganan Banjir secara komprehensif/holistic ditingkat propinsi, master plan ini harus diperkuat dengan peraturan daerah yang mengacu pada peraturan pemerintah pusat dan diwujud nyatakan dalam Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten sebagai Blue Print perencanaan pembangunan kota/kabupaten yang harus dievaluasi minimal setahun sekali. Demikian juga untuk masalah masalah lain karena masih banyak ancaman lain yang ada didaerah kita Sulawesi Utara tercinta seperti ancaman longsor (land slide), gempa bumi (earth quake) yang dapat menyebabkan Tsunami, buta teknologi (digital divide) yang harus mendapat perhatian yang sama oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara.Akhir kata penulis ingin menyampaikan bahwa manusia hanya dapat berusaha untuk meminimalkan resiko bencana dengan berupaya miningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana namun tak kalah penting adalah peningkatan kualitas iman sesuai dengan kepercayaan masing-masing untuk lebih memahami arti hidup. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Pola Pengendalian Longsor (Land Slide) di SULUT
Pola Pengendalian Longsor (Land Slide) di SULUT
Oleh :
Dr. Fabian J. Manoppo
Kondisi topografi Sulawesi Utara yang berbukit bukit dimana cukup banyak kemiringan lereng diatas 15% menyebabkan Sulawesi Utara berpotensi besar mengalami bahaya longsor hal ini dibuktikan dimana hampir setiap tahun selalu terjadi longsor dan telah meminta korban baik jiwa maupun materil yang tidak sedikit. Khususnya pada tahun ini tercatat korban jiwa cukup banyak itu berarti tanda waspada bagi kita semua bahwa kedepan bukan tidak mungkin akan lebih parah lagi dimana kita tidak menginginkan bersama kondisi longsor yang terjadi bersamaan di Filipina yang menelan korban jiwa sekitar 1000 orang . Kenapa kondisi ini masih terus berlangsung dari tahun ketahun ini disebabkan Pemerintah dalam penanganan masalah longsor masih secara Parsial maksudnya nanti ada kejadian baru terlihat keseriusan kalaupun ada proyek-proyek penanggulangan bencana longsor masih bersifat Projek Oriented (yang penting ada dana kong so dapa lia ada pembangunan dengan tidak mengoptimalkan maksud dan tujuan pembangunan proyek tersebut apalagi kalau ditanya pasca pembangunan proyek berupa parawatan) jadi dimana daerah yang longsor disitu dilakukan penanganan. Padahal untuk memitigasi/meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh tanah longsor harus secara Holistic/Komprehensif atau berkesinambungan dan menyeluruh dengan menggunakan kajian-kajian ilmiah yang baik serta melibatkan seluruh stakeholder. Keadaan ini kalau terus dibiarkan tanpa adanya upaya-upaya penanggulangan secara Holistic/ Komprehensif atau dengan kata lain terpola dengan baik maka bahaya longsor akan terus terjadi. Pola yang bagaimana yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara. Berikut ini penjelasan mengenai Pengertian Longsor, Cara-Cara Memprediksi Terjadinya Longsor, Metode Pengendalian Longsor serta Pola Pengendalian Bencana Tanah Longsor :
1. Definisi longsoran adalah perpindahan massa tanah/batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula, termasuk juga deformasi lambat atau jangka panjang dari suatu lereng yang biasa disebut rayapan (creep). Tapi tidak termasuk aliran lahar dan amblasan/penurunan tanah (subsidence) akibat proses konsolidasi atau perbedaan kekuatan dari pondasi bangunan.
2. Tipe dan jenis tanah longsoran menurut klasifikasi Highway Research
Board 1978 dibagi menjadi lima kelompok utama yaitu :
- Runtuhan
Merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik yang diikuti dengan gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan ini massa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit atau tampa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran). Runtuhan dapat terjadi apabila material yang dibawahnya lebih lemah (antara lain oleh karena erosi atau penggalian) dari lapisan diatasnya
- Jungkiran
Merupakan jenis gerakan memutar kedepan dari satu atau beberapa blok tanah/batuan terhadap titik pusat putaran dibawah massa batuan oleh gaya gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan dibelakannya atau gaya yang ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan. Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak mempunyai bidang longsoran.
- Longsoran
Gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan sepanjang bidang
longsoran dimana massa berpindah melongsor dari tempat semula dan
terpisah dari massa tanah yang mantap.
- Penyebaran Lateral
Gerakan menyebar kearah lateral yang ditimbulkan oleh retak geser atau retak tarik. Tipe gerakan ini dapat terjadi pada batuan ataupun tanah.
- Aliran
Gerakan tanah yang disebabkan oleh adanya aliran air permukaan (air runoff)
yang debitnya cukup besar dimana ikatan kohesi tanah telah mengalami titik
jenuh.
Dari kelima tipe gerakan tanah atau longsoran diatas hasil pantauan penulis tipe longsoran diSulut yang banyak terjadi adalah kombinasi antara 3 dan 4 .
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah,
- Tidak adanya tanaman pelindung lereng menyebabkan kaki lereng tererosi oleh aliran air sungai atau aliran air hujan yang menyebabkan tegangan horizontal turun,
- Adanya galian galian tanah
- Pembongkaran sheet pile atau tembok penahan tanah serta salah desain
- Peningkatan tegangan vertikal akibat air hujan tertahan diatas lereng
- Timbunan deposit halus
- Timbunan tanah
- Berat bangunan
- Jalan dan kendaraan
- Pergerakan tektonik dan gempa bumi.
4. Cara-cara Memprediksi Terjadinya Tanah Longsor
a. Secara Visual Dengan Mata
- Sebelum terjadinya longsor besar terjadi longsor kecil berupa jatuhan
tanah dari tebing
- Timbulnya mata air yang keluar dari tebing longsor yang sebelumnya
tidak ada
- Terjadinya pergeseran tanah
b. Dengan Perhitungan Menggunakan Teori Longsor
- Pemeriksaan sifat-sifat fisik dan mekanika tanah seperti shear streng/
kuat geser tanah, soil classification/klasifikasi tanah dengan alat-alat
laboratorium mekanika tanah (Boring, Sondir, Triaxial, Konsolidasi,
Permiabiliti Test, SPT, UCT, Direct Shear, dll)
- Analisa kestabilan lereng dengan menggunakan Komputer (Teori
Fellenius, Bishop, Jambu, dll)
- Menggunakan Grafik (Teori Cousins, Janbu, Duncan, Hoek & Bray, dll
c. Pemasangan Alat/Instrumen Di Daerah Longsor
- Pengamatan Dipermukaan Tanah (Patok Geser, Strainmeter)
- Gerakan Dibawah Permukaan (Inklinometer, Deflektometer, Shear Strip Indicator, Accoustical Emission)
d. Pengukuran Beban dan Tekanan Pada Tanah
- Pisometer
- Strainmeter
5. Metode Penanggulangan Tanah Longsor
Prinsip dasar pada suatu lereng bekerja gaya-gaya yang terdiri dari gaya pendorong dan gaya penahan. Suatu lereng akan longsor bila keseimbangan gaya-gaya yang bekerja terganggu, yaitu gaya pendorong melampaui gaya penahan. Oleh karena itu prinsip penanggulangan longsoran adalah mengurangi gaya pendorong atau menambah gaya penahan. Beberapa metode penanggulangan longsor seperti :
a. Mengubah Geometri Lereng
Cara ini adalah dengan melakukan pemotongan dan penimbunan pada ujung
kaki. Metode ini umumnya dilakukan untuk tipe longsoran rotasi
b. Mengendalikan Air Permukaan
Cara ini untuk mencegah masuknya atau mengurangi rembesan air permukaan
kedaerah longsoran, misalnya dilakukan dengan cara menanam tumbuhan,
menutup retakan, tata salir dan perbaikan lereng (regarding).
c. Mengendalikan Air Rembesan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menurunkan muka air tanah didaerah
longsoran, metode yang sering dilakukan antara lain sumur dalam (deep well),
penyalir tegak (vertikal drain), pelantar (drainase gallery), sumur pelega (relief
well), penyalir parit pencegat (interceptor drain), penyalur liput (blangket
drain) dan elektro osmosis.
d. Penambatan dan Tindakan Lain, cara ini untuk menahan massa tanah dengan membangun bronjong, sheet pile, tembok penahan, stabilisasi tanah, pemasangan geotekstil, bangunan silang (jembatan talang), penggunaan bahan ringan dan relokasi
6. Pola Pengendalian Bencana Tanah Longsor
Untuk menanggulangi dan menentukan cara yang tepat dalam menangani suatu kelongsoran tanah/batuan, maka perlu memahami terjadinya longsoran. Penyelidikan dan instrumentasi geoteknik perlu dilakukan untuk memperoleh data/parameter tanah/batuan guna memantapkan analisis perhitungannya. Cara analisis kestabilan lereng tergantung dari tipe longsoran dan sejarah geologinya.
Dengan memahami masalah longsor dan metode penanggulangannya maka pemerintah dalam hal ini perlu membuat Master Plan Pola Penanggulangan Bencana Tanah Longsor diSULUT yang berisi :
- Pemetaan daerah rawan longsor (harus dibuat baru karena telah terjadi banyak perubahan lahan) yang mengklasifikasi atau rekomendasi tentang daerah-daerah mana yang boleh menjadi daerah yang bisa dibangun bangunan seperti kantor, rumah tinggal serta daerah mana yang harus menjadi hutan kota, dll
- Hasil pemetaan ini harus diperkuat dengan landasan hukum seperti Peraturan daerah (Perda) dan di tuangkan dalam Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten dan harus dievaluasi minimal sekali setahun.
- Hasil pemetaan ini harus disosialisasikan kepada masyarakat
Demikianlah tulisan ini dibuat dengan maksud untuk dapat memitigasi/memperkecil bahaya bencana tanah longsor dimana upaya-upaya ini harus ditambah lagi dengan peningkatan iman masyarakat Sulawesi Utara.
Oleh :
Dr. Fabian J. Manoppo
Kondisi topografi Sulawesi Utara yang berbukit bukit dimana cukup banyak kemiringan lereng diatas 15% menyebabkan Sulawesi Utara berpotensi besar mengalami bahaya longsor hal ini dibuktikan dimana hampir setiap tahun selalu terjadi longsor dan telah meminta korban baik jiwa maupun materil yang tidak sedikit. Khususnya pada tahun ini tercatat korban jiwa cukup banyak itu berarti tanda waspada bagi kita semua bahwa kedepan bukan tidak mungkin akan lebih parah lagi dimana kita tidak menginginkan bersama kondisi longsor yang terjadi bersamaan di Filipina yang menelan korban jiwa sekitar 1000 orang . Kenapa kondisi ini masih terus berlangsung dari tahun ketahun ini disebabkan Pemerintah dalam penanganan masalah longsor masih secara Parsial maksudnya nanti ada kejadian baru terlihat keseriusan kalaupun ada proyek-proyek penanggulangan bencana longsor masih bersifat Projek Oriented (yang penting ada dana kong so dapa lia ada pembangunan dengan tidak mengoptimalkan maksud dan tujuan pembangunan proyek tersebut apalagi kalau ditanya pasca pembangunan proyek berupa parawatan) jadi dimana daerah yang longsor disitu dilakukan penanganan. Padahal untuk memitigasi/meminimalkan bahaya yang diakibatkan oleh tanah longsor harus secara Holistic/Komprehensif atau berkesinambungan dan menyeluruh dengan menggunakan kajian-kajian ilmiah yang baik serta melibatkan seluruh stakeholder. Keadaan ini kalau terus dibiarkan tanpa adanya upaya-upaya penanggulangan secara Holistic/ Komprehensif atau dengan kata lain terpola dengan baik maka bahaya longsor akan terus terjadi. Pola yang bagaimana yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Sulawesi Utara. Berikut ini penjelasan mengenai Pengertian Longsor, Cara-Cara Memprediksi Terjadinya Longsor, Metode Pengendalian Longsor serta Pola Pengendalian Bencana Tanah Longsor :
1. Definisi longsoran adalah perpindahan massa tanah/batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula, termasuk juga deformasi lambat atau jangka panjang dari suatu lereng yang biasa disebut rayapan (creep). Tapi tidak termasuk aliran lahar dan amblasan/penurunan tanah (subsidence) akibat proses konsolidasi atau perbedaan kekuatan dari pondasi bangunan.
2. Tipe dan jenis tanah longsoran menurut klasifikasi Highway Research
Board 1978 dibagi menjadi lima kelompok utama yaitu :
- Runtuhan
Merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik yang diikuti dengan gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan ini massa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit atau tampa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran). Runtuhan dapat terjadi apabila material yang dibawahnya lebih lemah (antara lain oleh karena erosi atau penggalian) dari lapisan diatasnya
- Jungkiran
Merupakan jenis gerakan memutar kedepan dari satu atau beberapa blok tanah/batuan terhadap titik pusat putaran dibawah massa batuan oleh gaya gravitasi dan atau gaya dorong dari massa batuan dibelakannya atau gaya yang ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan batuan. Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak mempunyai bidang longsoran.
- Longsoran
Gerakan yang terdiri dari regangan geser dan perpindahan sepanjang bidang
longsoran dimana massa berpindah melongsor dari tempat semula dan
terpisah dari massa tanah yang mantap.
- Penyebaran Lateral
Gerakan menyebar kearah lateral yang ditimbulkan oleh retak geser atau retak tarik. Tipe gerakan ini dapat terjadi pada batuan ataupun tanah.
- Aliran
Gerakan tanah yang disebabkan oleh adanya aliran air permukaan (air runoff)
yang debitnya cukup besar dimana ikatan kohesi tanah telah mengalami titik
jenuh.
Dari kelima tipe gerakan tanah atau longsoran diatas hasil pantauan penulis tipe longsoran diSulut yang banyak terjadi adalah kombinasi antara 3 dan 4 .
3. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah,
- Tidak adanya tanaman pelindung lereng menyebabkan kaki lereng tererosi oleh aliran air sungai atau aliran air hujan yang menyebabkan tegangan horizontal turun,
- Adanya galian galian tanah
- Pembongkaran sheet pile atau tembok penahan tanah serta salah desain
- Peningkatan tegangan vertikal akibat air hujan tertahan diatas lereng
- Timbunan deposit halus
- Timbunan tanah
- Berat bangunan
- Jalan dan kendaraan
- Pergerakan tektonik dan gempa bumi.
4. Cara-cara Memprediksi Terjadinya Tanah Longsor
a. Secara Visual Dengan Mata
- Sebelum terjadinya longsor besar terjadi longsor kecil berupa jatuhan
tanah dari tebing
- Timbulnya mata air yang keluar dari tebing longsor yang sebelumnya
tidak ada
- Terjadinya pergeseran tanah
b. Dengan Perhitungan Menggunakan Teori Longsor
- Pemeriksaan sifat-sifat fisik dan mekanika tanah seperti shear streng/
kuat geser tanah, soil classification/klasifikasi tanah dengan alat-alat
laboratorium mekanika tanah (Boring, Sondir, Triaxial, Konsolidasi,
Permiabiliti Test, SPT, UCT, Direct Shear, dll)
- Analisa kestabilan lereng dengan menggunakan Komputer (Teori
Fellenius, Bishop, Jambu, dll)
- Menggunakan Grafik (Teori Cousins, Janbu, Duncan, Hoek & Bray, dll
c. Pemasangan Alat/Instrumen Di Daerah Longsor
- Pengamatan Dipermukaan Tanah (Patok Geser, Strainmeter)
- Gerakan Dibawah Permukaan (Inklinometer, Deflektometer, Shear Strip Indicator, Accoustical Emission)
d. Pengukuran Beban dan Tekanan Pada Tanah
- Pisometer
- Strainmeter
5. Metode Penanggulangan Tanah Longsor
Prinsip dasar pada suatu lereng bekerja gaya-gaya yang terdiri dari gaya pendorong dan gaya penahan. Suatu lereng akan longsor bila keseimbangan gaya-gaya yang bekerja terganggu, yaitu gaya pendorong melampaui gaya penahan. Oleh karena itu prinsip penanggulangan longsoran adalah mengurangi gaya pendorong atau menambah gaya penahan. Beberapa metode penanggulangan longsor seperti :
a. Mengubah Geometri Lereng
Cara ini adalah dengan melakukan pemotongan dan penimbunan pada ujung
kaki. Metode ini umumnya dilakukan untuk tipe longsoran rotasi
b. Mengendalikan Air Permukaan
Cara ini untuk mencegah masuknya atau mengurangi rembesan air permukaan
kedaerah longsoran, misalnya dilakukan dengan cara menanam tumbuhan,
menutup retakan, tata salir dan perbaikan lereng (regarding).
c. Mengendalikan Air Rembesan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menurunkan muka air tanah didaerah
longsoran, metode yang sering dilakukan antara lain sumur dalam (deep well),
penyalir tegak (vertikal drain), pelantar (drainase gallery), sumur pelega (relief
well), penyalir parit pencegat (interceptor drain), penyalur liput (blangket
drain) dan elektro osmosis.
d. Penambatan dan Tindakan Lain, cara ini untuk menahan massa tanah dengan membangun bronjong, sheet pile, tembok penahan, stabilisasi tanah, pemasangan geotekstil, bangunan silang (jembatan talang), penggunaan bahan ringan dan relokasi
6. Pola Pengendalian Bencana Tanah Longsor
Untuk menanggulangi dan menentukan cara yang tepat dalam menangani suatu kelongsoran tanah/batuan, maka perlu memahami terjadinya longsoran. Penyelidikan dan instrumentasi geoteknik perlu dilakukan untuk memperoleh data/parameter tanah/batuan guna memantapkan analisis perhitungannya. Cara analisis kestabilan lereng tergantung dari tipe longsoran dan sejarah geologinya.
Dengan memahami masalah longsor dan metode penanggulangannya maka pemerintah dalam hal ini perlu membuat Master Plan Pola Penanggulangan Bencana Tanah Longsor diSULUT yang berisi :
- Pemetaan daerah rawan longsor (harus dibuat baru karena telah terjadi banyak perubahan lahan) yang mengklasifikasi atau rekomendasi tentang daerah-daerah mana yang boleh menjadi daerah yang bisa dibangun bangunan seperti kantor, rumah tinggal serta daerah mana yang harus menjadi hutan kota, dll
- Hasil pemetaan ini harus diperkuat dengan landasan hukum seperti Peraturan daerah (Perda) dan di tuangkan dalam Rencana Tata Ruang Kota/Kabupaten dan harus dievaluasi minimal sekali setahun.
- Hasil pemetaan ini harus disosialisasikan kepada masyarakat
Demikianlah tulisan ini dibuat dengan maksud untuk dapat memitigasi/memperkecil bahaya bencana tanah longsor dimana upaya-upaya ini harus ditambah lagi dengan peningkatan iman masyarakat Sulawesi Utara.
Minggu, 07 November 2010
Pendapat: Letusan Merapi oleh Dr Andang Bachtiar Ketua Dewan Penasehat IAGI
Re: Fwd: [forum-geoteknik-indonesia] Info terkait Merapi
From: helmy darjanto [Chat now]
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
8 November 2010
1. Sampai kapan Merapi akan terus bergejolak? Bisakah diperkirakan dan dipastikan?
Spt jawaban atas pertanyaan ttg proses berdimensi besar geologi lainnya yg menyebabkan bencana (rangkaian gempa - tsunami) perkiraan ttg kapan mulai dan kapan berakhirnya suatu periode proses tertentu mempunyai derajat ketidakpastian berbanding terbalik dg pengetahuan kita akan proses tsb dan sbrapa lengkap/banyak jumlah data statistik empiris yg menunjang prediksi. Pengetahuan kita ttg tipe letusan merapi yg "non wedus-gembel" yaitu letusan eksplosif membentuk kolom vertikal yg spt kita lihat skrg agak terbatas, krn selama ini yg berulang hampir 5 tahunan adalah letusan tipe "nue ardentee atau wedus gembel" itu... Secara teoritis kegiatan letusan akan berkurang dan berhenti saat kandungan gas dlm magma berkurang dan atau energinya melemah, yg akan didahului dg keluarnya lava leleran atau sumbat lava (lagi). Selain itu juga kegiaran gempa volkaniknya akan mulai berkurang frekuensi dan besarannya,..yg mana sampai tadi siang berita yg direlease mengindikasikan bhw trend bacaan seismogram blm menunjukkan kecenderungan turun. Jadi masih blm dpt dipastikan brp hari, minggu atau bln lagi aktifitas Merapu periode ini akan berakhir. Pengamatan visual atas leleran lava di puncak dan juga monitoring trend gempa akan sangat membantu. Cek terus dg kawan2 PVMBG di BPPTK Yogja.
2. Bagaimana penjelasan ilmihannya?
Lihat jawaban no 1
3. Faktor-faktor apa yang menyebabkan Merapai bergolak dan berhenti? Hitung2annya bagiamna?
Lihat jawaban no 1, plus tambahan bhw adanya penunjaman lempeng samudra di selatan Jawa yg menyusup di bawah lempeng benua Asia yg bagian pinggiran atasnya menjadi tempat kita hidup di Sumatra-Jawa-Kalimantan ini yg penyusupannya diarah tsb dimulai dan berlangsung terus sejak 32jt th lalu (Oligocene) telah menyebabkan dinamika pembentukan jalur gn api pada jarak 150km dr titik penujaman tsb, yaitu dlm hal ini Merapi termasuk di dlm jalur tsb. Merapi jadi paling aktif (4-5th sekali bergolak) kmungkinan krn posisinya pd blok JawaTengah yg selain disusupi dr selatan juga ditekan dr utara (lihat bentuk kelurusan pantai2 JaTeng yg menjorok masuk ke dalam baik di utara maupun di selatan, lebih sempit dr luasan JaBar dan atau Jatim, itu sbg ekspresi penekanan tsb.
4. Benarkah letusan kali ini lebih besar dari tahun-tahun tahun sebelumnya? Mengapa?
Ya,..menurut data dlm 70 th terakhir memang ini yg terbesar, tapi pernah juga dicatat letusan th 30an yg hujan kerikilnya sampai di Madura, kmungkinan itu juga besar, dan kmungkinan juga th 1006 spt dituliskan oleh van Bemmelen dlm bukanya Geology of Indonesia (1949), dimana disebutkan letuan besar th itu telah menghancurkan kerjaan Mataram Purba, mengubur candi Borobudur dsb.
5. Benarkah letusan kali ini menciptakan alur baru lahar? Mengapa? Alur baru itu wilayah mana saja?
Mungkin lebih tepatnya adalah aktifasi (pengaktifan kembali) alur2 lahar lama, krn sebenarnyalah semua alur sungai di daerah radius seputaran Merapi yg tersusun dr aliran lahar memang merupakan alur2 lahar sejak dulu kala, hanya saja dlm periode tertentu arahnya lebih ke barat, selatan atau timur dsb. Nah saat ini alur2 lama kembali terisi efek endapan2 lahar maupun wedhus gembel Merapi.
6 Jika demikian, berarti radius derah rawan lebih meluas? Berapa ukurannya? Banyak desa yang ahrus dikosongkan?
Radius daerah rawan bencana yg diperluas dr 15km menjadi 20km Jumat kmrn menurut saya tdk berhubungan langsung dg alur2 baru atau lama tapi dg kekuatan energi luncuran dan jumlah material yg diluncurkan oleh proses awan panas wedhus gembel yg lebih besar dr sebelum2nya. Karena lebih besar maka radius jangkuannya menjadi lebih luas. Bukan krn alur2nya baru.
7 Bagaimana dengan perhitungan mistik? Sering cocokklah? Atau tidka tepat? termasuk soal mitos asap Mbah Petruk?
Saya tdk begitu mendalami soal hitung2an mistik, tp kalau soal mitos mBah Petruk saya ckp kenal ceritanya dr almarhum mertua saya yg asli Tompak, Ampel, Boyolali (lereng Merbabu-Merapi sblah timur). Bhw Mbah Petruk itu kerabat moyangnya penduduk daerah lereng Merapi-Merbabu, dia sangat sakti dan gak pernah mandi, trus suatu saat menghilang saat terjeruumus (dijerumuskan?) di suatu pusaran air (kedung) di sungai di daerah sana. Setelah itu kadang beliau muncul dlm penampakan jika terjadi atau akan terjadi hal2 besar di sekitar daerah tsb mengingatkan para kerabat dan turunannya. Itu saja yg saya tahu (dan memang kita sdg mengalami bencana besar saat ini)
8 Apakah masryakat akan dibiarkan mempercayaaikan kalkulasi mistik tersebut?
Lihat jawaban no 7. Tambahan: saya tdk tahu kalkulasinya yg mana, tp kalau hal besar sdg terjadi, maka percaya tdk percaya memaang bencana Merapi sdg terjadi.
9. Kira2 kapan lagi meletus? Jika rutin bagaimana melindungi penduduk?
Kita tahu dr data empiris statistik bhw perioda aktifitas letusan Merapi itu pendek (5 tahunan), makanya dia disebut sbg Gn Api teraktif di dunia. Ini menjadi satu kerutinan juga telah disadari oleh Pemerintah khususnya jajaran Badan Geologi ESDM. Level kesadaran ini harusnya juga diterapkan di BNPB dlm rangka memitigasinya mengurangi resikonya bg penduduk. Nampaknya stlah periode letusan Merapi ini BNPB hrs konsentrasi full memitigasinya, mungkin dg menata ulang memetakan daerah bahaya dan tata ruang secara keseluruhan (tentunya lintas sektoral juga)
10. Benarkan akan menyuburkan lahan di sekitar letusan gunung termasuk pertanian penduduk? alasan ilmiahnya?
Benar, debu volkanik mengandung zat yg menyuburkan tanah, terutama di daerah tropis spt Indonesia. Alasan ilmiahnya bkn kompetensi kami, mudah2an kawan2 dr Pertanian bisa lebih memberi pencerahan
11. Nah, soal pasir yang dihasilka dari letusan kan biasanya menjadi lading rezeki dan dijual? kira2 dari letusan sekarang volumenya berapa?
Pasir2 terkonsentrasi di alur2 lahar yaitu di sungai2 yg berhulu di Merapi, dimana lahar sndiri merupakan bagian dr produk letusan gn api tsb. Kalau dr info BPPTK-PVMBG bhw material yg sdh dimuntahkan Merapi mencapai 100jt meter kubik, maka pasir2 yg akan jadi rejeki di alur2 sungai tsb pastinya tdk akan melebihi jumlah tsb volumenya krn mrk hanya sbagian kecil saja proporsinya dr keseluruhan material volkanik yg diluncurkan Merapi
12. Pasca letusan nanti, upaya recoverynya bagaimana? Butuh biaya berapa? Perlu relokasi penduduk tidak?
Recoverynya bgnmn dan butuh biaya brp, nampaknya bkn kompetensi saya untuk menjawabnya. Tetapi jika menyangkut perlu relokasi penduduk atau tidak tergantung dr revisi peta daerah bahaya Merapi yg baru nanti. Di daerah bahaya 1 yg baru nantinya tentunya perlu juga dipertimbangkan u/merelokasi penduduknya kalau memang sblmnya ada pemukiman di sana.
From: helmy darjanto
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
8 November 2010
1. Sampai kapan Merapi akan terus bergejolak? Bisakah diperkirakan dan dipastikan?
Spt jawaban atas pertanyaan ttg proses berdimensi besar geologi lainnya yg menyebabkan bencana (rangkaian gempa - tsunami) perkiraan ttg kapan mulai dan kapan berakhirnya suatu periode proses tertentu mempunyai derajat ketidakpastian berbanding terbalik dg pengetahuan kita akan proses tsb dan sbrapa lengkap/banyak jumlah data statistik empiris yg menunjang prediksi. Pengetahuan kita ttg tipe letusan merapi yg "non wedus-gembel" yaitu letusan eksplosif membentuk kolom vertikal yg spt kita lihat skrg agak terbatas, krn selama ini yg berulang hampir 5 tahunan adalah letusan tipe "nue ardentee atau wedus gembel" itu... Secara teoritis kegiatan letusan akan berkurang dan berhenti saat kandungan gas dlm magma berkurang dan atau energinya melemah, yg akan didahului dg keluarnya lava leleran atau sumbat lava (lagi). Selain itu juga kegiaran gempa volkaniknya akan mulai berkurang frekuensi dan besarannya,..yg mana sampai tadi siang berita yg direlease mengindikasikan bhw trend bacaan seismogram blm menunjukkan kecenderungan turun. Jadi masih blm dpt dipastikan brp hari, minggu atau bln lagi aktifitas Merapu periode ini akan berakhir. Pengamatan visual atas leleran lava di puncak dan juga monitoring trend gempa akan sangat membantu. Cek terus dg kawan2 PVMBG di BPPTK Yogja.
2. Bagaimana penjelasan ilmihannya?
Lihat jawaban no 1
3. Faktor-faktor apa yang menyebabkan Merapai bergolak dan berhenti? Hitung2annya bagiamna?
Lihat jawaban no 1, plus tambahan bhw adanya penunjaman lempeng samudra di selatan Jawa yg menyusup di bawah lempeng benua Asia yg bagian pinggiran atasnya menjadi tempat kita hidup di Sumatra-Jawa-Kalimantan ini yg penyusupannya diarah tsb dimulai dan berlangsung terus sejak 32jt th lalu (Oligocene) telah menyebabkan dinamika pembentukan jalur gn api pada jarak 150km dr titik penujaman tsb, yaitu dlm hal ini Merapi termasuk di dlm jalur tsb. Merapi jadi paling aktif (4-5th sekali bergolak) kmungkinan krn posisinya pd blok JawaTengah yg selain disusupi dr selatan juga ditekan dr utara (lihat bentuk kelurusan pantai2 JaTeng yg menjorok masuk ke dalam baik di utara maupun di selatan, lebih sempit dr luasan JaBar dan atau Jatim, itu sbg ekspresi penekanan tsb.
4. Benarkah letusan kali ini lebih besar dari tahun-tahun tahun sebelumnya? Mengapa?
Ya,..menurut data dlm 70 th terakhir memang ini yg terbesar, tapi pernah juga dicatat letusan th 30an yg hujan kerikilnya sampai di Madura, kmungkinan itu juga besar, dan kmungkinan juga th 1006 spt dituliskan oleh van Bemmelen dlm bukanya Geology of Indonesia (1949), dimana disebutkan letuan besar th itu telah menghancurkan kerjaan Mataram Purba, mengubur candi Borobudur dsb.
5. Benarkah letusan kali ini menciptakan alur baru lahar? Mengapa? Alur baru itu wilayah mana saja?
Mungkin lebih tepatnya adalah aktifasi (pengaktifan kembali) alur2 lahar lama, krn sebenarnyalah semua alur sungai di daerah radius seputaran Merapi yg tersusun dr aliran lahar memang merupakan alur2 lahar sejak dulu kala, hanya saja dlm periode tertentu arahnya lebih ke barat, selatan atau timur dsb. Nah saat ini alur2 lama kembali terisi efek endapan2 lahar maupun wedhus gembel Merapi.
6 Jika demikian, berarti radius derah rawan lebih meluas? Berapa ukurannya? Banyak desa yang ahrus dikosongkan?
Radius daerah rawan bencana yg diperluas dr 15km menjadi 20km Jumat kmrn menurut saya tdk berhubungan langsung dg alur2 baru atau lama tapi dg kekuatan energi luncuran dan jumlah material yg diluncurkan oleh proses awan panas wedhus gembel yg lebih besar dr sebelum2nya. Karena lebih besar maka radius jangkuannya menjadi lebih luas. Bukan krn alur2nya baru.
7 Bagaimana dengan perhitungan mistik? Sering cocokklah? Atau tidka tepat? termasuk soal mitos asap Mbah Petruk?
Saya tdk begitu mendalami soal hitung2an mistik, tp kalau soal mitos mBah Petruk saya ckp kenal ceritanya dr almarhum mertua saya yg asli Tompak, Ampel, Boyolali (lereng Merbabu-Merapi sblah timur). Bhw Mbah Petruk itu kerabat moyangnya penduduk daerah lereng Merapi-Merbabu, dia sangat sakti dan gak pernah mandi, trus suatu saat menghilang saat terjeruumus (dijerumuskan?) di suatu pusaran air (kedung) di sungai di daerah sana. Setelah itu kadang beliau muncul dlm penampakan jika terjadi atau akan terjadi hal2 besar di sekitar daerah tsb mengingatkan para kerabat dan turunannya. Itu saja yg saya tahu (dan memang kita sdg mengalami bencana besar saat ini)
8 Apakah masryakat akan dibiarkan mempercayaaikan kalkulasi mistik tersebut?
Lihat jawaban no 7. Tambahan: saya tdk tahu kalkulasinya yg mana, tp kalau hal besar sdg terjadi, maka percaya tdk percaya memaang bencana Merapi sdg terjadi.
9. Kira2 kapan lagi meletus? Jika rutin bagaimana melindungi penduduk?
Kita tahu dr data empiris statistik bhw perioda aktifitas letusan Merapi itu pendek (5 tahunan), makanya dia disebut sbg Gn Api teraktif di dunia. Ini menjadi satu kerutinan juga telah disadari oleh Pemerintah khususnya jajaran Badan Geologi ESDM. Level kesadaran ini harusnya juga diterapkan di BNPB dlm rangka memitigasinya mengurangi resikonya bg penduduk. Nampaknya stlah periode letusan Merapi ini BNPB hrs konsentrasi full memitigasinya, mungkin dg menata ulang memetakan daerah bahaya dan tata ruang secara keseluruhan (tentunya lintas sektoral juga)
10. Benarkan akan menyuburkan lahan di sekitar letusan gunung termasuk pertanian penduduk? alasan ilmiahnya?
Benar, debu volkanik mengandung zat yg menyuburkan tanah, terutama di daerah tropis spt Indonesia. Alasan ilmiahnya bkn kompetensi kami, mudah2an kawan2 dr Pertanian bisa lebih memberi pencerahan
11. Nah, soal pasir yang dihasilka dari letusan kan biasanya menjadi lading rezeki dan dijual? kira2 dari letusan sekarang volumenya berapa?
Pasir2 terkonsentrasi di alur2 lahar yaitu di sungai2 yg berhulu di Merapi, dimana lahar sndiri merupakan bagian dr produk letusan gn api tsb. Kalau dr info BPPTK-PVMBG bhw material yg sdh dimuntahkan Merapi mencapai 100jt meter kubik, maka pasir2 yg akan jadi rejeki di alur2 sungai tsb pastinya tdk akan melebihi jumlah tsb volumenya krn mrk hanya sbagian kecil saja proporsinya dr keseluruhan material volkanik yg diluncurkan Merapi
12. Pasca letusan nanti, upaya recoverynya bagaimana? Butuh biaya berapa? Perlu relokasi penduduk tidak?
Recoverynya bgnmn dan butuh biaya brp, nampaknya bkn kompetensi saya untuk menjawabnya. Tetapi jika menyangkut perlu relokasi penduduk atau tidak tergantung dr revisi peta daerah bahaya Merapi yg baru nanti. Di daerah bahaya 1 yg baru nantinya tentunya perlu juga dipertimbangkan u/merelokasi penduduknya kalau memang sblmnya ada pemukiman di sana.
Info Terkait Merapi
Re: [forum-geoteknik-indonesia] Info terkait Merapi
From:haje
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Mas Dar dan rekan2 ysh,
Menarik sekali skenario yg disampaikan yg mengaitkan aktifitas gunung merapi dg kemungkinan ter-aktifkan kembali patahan2 yg ada di sekitarnya yg bisa mengakibatkan gempa. Berikut ini komentar saya:
1. Selama dua puluh tahun terakhir mengikuti sebab2 terjadinya gempa besar, saya perhatikan semuanya terjadi karena gempa tektonik, mulai yg terjadi di alaska, menyambung ke california dan seterusnya ke negara amerika selatan spt chile dll. Juga dari gempa Izmit di turki, yg menyambung ke gempa2 di iran dan pakistan, Jepang, taiwan, china dll dan tentu saja gempa2 yg terjadi di lempeng2 asia akibat subduksi lempeng australia.
Selain itu, saya belum pernah melihat/membaca adanya gempa tektonik yg diakibatkan adanya aktifitas letusan gunung berapi. Bukan berarti tidak mungkin, tapi selama karir saya yg terbatas ini belum ada. Saya tidak tahu kalau ada yg lain yg pernah menemukan kasus ini.
2. Dari pandangan teori tegangan-regangan lempeng, dalam kondisi normal, tekanan yg besar dari dalam inti bumi membuat lempeng2 tektonik yg mengapung di atas magma cair bergerak, menekan dan bergeser satu sama lain yg dalam suatu waktu tertentu jika kuat geser lempeng terlampaui akan runtuh dan menghasilkan gempa. Letusan gunung spt ini sebenarnya merupakan stress release yg mengakibatkan berkurangnya tegangan kompresi yg terjadi pada daerah tumbukan lempeng. Dg demikian, letusan ini malah mengurangi kemungkinan terjadinya patahan atau pergeseran tiba2 lempeng2 tektonik di sekitarnya.
Ini hipotesis saya dan dengan software yg tepat bisa dimodelkan secara numerik utk dibuktikan kebenarnnya atau ke-tidak-benarannya.
salam prihatin,
Haje
2010/11/7 Sudarmanta
Rekan-rekan millist, saya mendapat email ini terkait situasi Merapi di Jawa Tengah , tapi tidak disebutkan sumbernya, mohon komentarnya :
A. Waspadai kegempaan vulkanik Merapi yg berskala besar shg membahayakan nyawa.
B.dimungkinkan mengaktifkan gunung berapi lainnya dan mengaktifkan 4 patahan gempa Yogya 5,9 SR 27 mei 06, jam 05.15, yg satu hari kemudian menyodok Lapindo 28 mei 06 dan saat ini lapuknya lapisan bawah Lapindo memicu terbelahnya lempeng dibawahnya.
C.Empat patahan dalam gempa Yogyakarta mnrt artikel Fukuoka dkk (Fukuoka et.al 2006: Interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earth quake and the sub surface strukture Deduced from the after shock activity observations). Adanya 4 aktivitas gempa Yogyakarta karena adanya sesar :
1.Sesar Opak
2.Sesar 10 km sebelah baratnya membujur sesar lain yang tersembunyi di bawah sedimen setebal > 1 km dengan arah yang sama dan dicurigai turut bergerak dan ini dicurigai bertanggung jawab pergeseran di Yogya dan Bantul.
3.Dari Prambanan ke tenggara melintasi Gantiwarno dan ini tidak tahu nama nya sesar ini jadi batas utara pegunungan Sewu (southern montain) dan dicurigai turut bergerak dengan adanya bukti banyak longsoran dan rekanan yang dijumpai meskipun posisinya cukup jauh dari lokasi episentrum gempa utama. Geseran sesar ini turut memporakporandakan Wonogiri dan Ponorogo.
4.Dari Parangtritis ke barat daya dinamai sesar Kulonprogo-Parangtritis ada beberapa aftershock disini menyebabkan titik longsoran di Komplek Goa Seplawan tepatnya di Watu kelir perbatasan Kulonprogo-Purworejo.
D.Untuk prediksi ke depan harus waspadai segmen di Utara Yogyakarta tepatnya di Prambanan ke utara diprediksikan ada sesar menuju Merapi-Merbabu-Telomoyo-Ungaran menurut Van Bemmelen serta segmen sebelah barat Kulonprogo (dimana dataran rendah aluvial membentang hingga ke Cilacap berujung pada sesar Citanduy-Kroya konon masih aktiv berpotensi tektonik dengan MW = 6,1E.
Ya Allah.. mohon lindungi dan selamatkan kami semua dr bencana
Sudarmanta
kaspa... kaspalayauw ®
From:haje
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Mas Dar dan rekan2 ysh,
Menarik sekali skenario yg disampaikan yg mengaitkan aktifitas gunung merapi dg kemungkinan ter-aktifkan kembali patahan2 yg ada di sekitarnya yg bisa mengakibatkan gempa. Berikut ini komentar saya:
1. Selama dua puluh tahun terakhir mengikuti sebab2 terjadinya gempa besar, saya perhatikan semuanya terjadi karena gempa tektonik, mulai yg terjadi di alaska, menyambung ke california dan seterusnya ke negara amerika selatan spt chile dll. Juga dari gempa Izmit di turki, yg menyambung ke gempa2 di iran dan pakistan, Jepang, taiwan, china dll dan tentu saja gempa2 yg terjadi di lempeng2 asia akibat subduksi lempeng australia.
Selain itu, saya belum pernah melihat/membaca adanya gempa tektonik yg diakibatkan adanya aktifitas letusan gunung berapi. Bukan berarti tidak mungkin, tapi selama karir saya yg terbatas ini belum ada. Saya tidak tahu kalau ada yg lain yg pernah menemukan kasus ini.
2. Dari pandangan teori tegangan-regangan lempeng, dalam kondisi normal, tekanan yg besar dari dalam inti bumi membuat lempeng2 tektonik yg mengapung di atas magma cair bergerak, menekan dan bergeser satu sama lain yg dalam suatu waktu tertentu jika kuat geser lempeng terlampaui akan runtuh dan menghasilkan gempa. Letusan gunung spt ini sebenarnya merupakan stress release yg mengakibatkan berkurangnya tegangan kompresi yg terjadi pada daerah tumbukan lempeng. Dg demikian, letusan ini malah mengurangi kemungkinan terjadinya patahan atau pergeseran tiba2 lempeng2 tektonik di sekitarnya.
Ini hipotesis saya dan dengan software yg tepat bisa dimodelkan secara numerik utk dibuktikan kebenarnnya atau ke-tidak-benarannya.
salam prihatin,
Haje
2010/11/7 Sudarmanta
Rekan-rekan millist, saya mendapat email ini terkait situasi Merapi di Jawa Tengah , tapi tidak disebutkan sumbernya, mohon komentarnya :
A. Waspadai kegempaan vulkanik Merapi yg berskala besar shg membahayakan nyawa.
B.dimungkinkan mengaktifkan gunung berapi lainnya dan mengaktifkan 4 patahan gempa Yogya 5,9 SR 27 mei 06, jam 05.15, yg satu hari kemudian menyodok Lapindo 28 mei 06 dan saat ini lapuknya lapisan bawah Lapindo memicu terbelahnya lempeng dibawahnya.
C.Empat patahan dalam gempa Yogyakarta mnrt artikel Fukuoka dkk (Fukuoka et.al 2006: Interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta Earth quake and the sub surface strukture Deduced from the after shock activity observations). Adanya 4 aktivitas gempa Yogyakarta karena adanya sesar :
1.Sesar Opak
2.Sesar 10 km sebelah baratnya membujur sesar lain yang tersembunyi di bawah sedimen setebal > 1 km dengan arah yang sama dan dicurigai turut bergerak dan ini dicurigai bertanggung jawab pergeseran di Yogya dan Bantul.
3.Dari Prambanan ke tenggara melintasi Gantiwarno dan ini tidak tahu nama nya sesar ini jadi batas utara pegunungan Sewu (southern montain) dan dicurigai turut bergerak dengan adanya bukti banyak longsoran dan rekanan yang dijumpai meskipun posisinya cukup jauh dari lokasi episentrum gempa utama. Geseran sesar ini turut memporakporandakan Wonogiri dan Ponorogo.
4.Dari Parangtritis ke barat daya dinamai sesar Kulonprogo-Parangtritis ada beberapa aftershock disini menyebabkan titik longsoran di Komplek Goa Seplawan tepatnya di Watu kelir perbatasan Kulonprogo-Purworejo.
D.Untuk prediksi ke depan harus waspadai segmen di Utara Yogyakarta tepatnya di Prambanan ke utara diprediksikan ada sesar menuju Merapi-Merbabu-Telomoyo-Ungaran menurut Van Bemmelen serta segmen sebelah barat Kulonprogo (dimana dataran rendah aluvial membentang hingga ke Cilacap berujung pada sesar Citanduy-Kroya konon masih aktiv berpotensi tektonik dengan MW = 6,1E.
Ya Allah.. mohon lindungi dan selamatkan kami semua dr bencana
Sudarmanta
kaspa... kaspalayauw ®
Multi stage vs multi reversal Direct Shear Test - 2
Re: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
From: Fabian J Manoppo
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sedikit komentar,
Mohon maaf saya belum pernah mencoba DST-CD dengan cara Multi Reversal tapi saya coba mengomentari sebatas yg saya tau sbb :
Direct Shear Test cenderung digunakan untuk cohesionless soil dan kelemahan lainnya bidang gesernya dipaksakan terjadi sesuai dengan alat yg ada. Pernah saya tanya ke Kepala Lab di TUN'S (Technical of Nova Scotia University Canada) saat dia melakukan uji DST dilabnya kenapa saat menarik SLOPE line nilai C nya diturunkan ke titik O dia bilang alasan tersebut diatas (koreksi kalau salah).
Sepanjang tidak ada kepentingan peneilitian atau penyesuaian dengan model test seperti pembuatan uji DIRECT SHEAR TEST dalam skala besar(Full Scale) seperti uji pemasangan GEOTEXTILE pada Embakment dll (Research oleh teman saya di Engineering Saga Univ) sehinga munkin loading shear nya perlu direstart dari awal atau diundur beberapa mm, maka menurut saya Multi Stage atau Multi Reversal dapat digunakan namun seberapa jauh pengaruhnya terhadap Peak Strength akibat me reverse (dari o atau beberapa mm) akan lebih besar atau lebih kecil saya belum ada pengalaman pak maaf.
Fabian J Manoppo
From: muslih purwana
To: FGI
Sent: Tue, November 2, 2010 12:33:16 PM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
Dear Bapak-bapak di FGI,
Mohon pencerahan prosedur multi stage untuk Direct shear test. Saya sudah baca di BS, namun disitu lebih menekankan ke multi-reversal untuk mencari peak strength dan residual dengan beban normal yang sama. Maksud saya, apakah boleh dilakukan multi reversal tapi dengan penambahan beban sehingga diperoleh peak strength yang berbeda sehingga diperoleh c dan phi. Kelihatannya metode ini belum dimasukkan ASTM D 3080 (ttg CD Direct shear)
Dari beberapa paper yang saya baca kelihatannya ada persamaan antara multi reversal dan multi stage. Artinya multi stage itu ya multi reversal juga tapi dengan penambahan beban. Ada juga yang melakukan penambahan beban tapi tanpa reversal. Setelah mencapai peak, shearing dihentikan kemudian diberi tambahan beban normal utk dikonsolidasikan, kemudian dilanjutkan shearing tanpa di reverse ke posisi awal.
Ada juga paper yang melaporkan penambahan beban dilakukan tanpa harus di reverse ke posisi awal, tetapi cukup dimundurkan beberapa mm.
Apakah semua metode tsb bisa dipakai? Pak Haje, P Febian, atau Bapak2 lainnya yang berpengalaman di lab.
Salam,
Yusep Muslih
From: Fabian J Manoppo
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sedikit komentar,
Mohon maaf saya belum pernah mencoba DST-CD dengan cara Multi Reversal tapi saya coba mengomentari sebatas yg saya tau sbb :
Direct Shear Test cenderung digunakan untuk cohesionless soil dan kelemahan lainnya bidang gesernya dipaksakan terjadi sesuai dengan alat yg ada. Pernah saya tanya ke Kepala Lab di TUN'S (Technical of Nova Scotia University Canada) saat dia melakukan uji DST dilabnya kenapa saat menarik SLOPE line nilai C nya diturunkan ke titik O dia bilang alasan tersebut diatas (koreksi kalau salah).
Sepanjang tidak ada kepentingan peneilitian atau penyesuaian dengan model test seperti pembuatan uji DIRECT SHEAR TEST dalam skala besar(Full Scale) seperti uji pemasangan GEOTEXTILE pada Embakment dll (Research oleh teman saya di Engineering Saga Univ) sehinga munkin loading shear nya perlu direstart dari awal atau diundur beberapa mm, maka menurut saya Multi Stage atau Multi Reversal dapat digunakan namun seberapa jauh pengaruhnya terhadap Peak Strength akibat me reverse (dari o atau beberapa mm) akan lebih besar atau lebih kecil saya belum ada pengalaman pak maaf.
Fabian J Manoppo
From: muslih purwana
To: FGI
Sent: Tue, November 2, 2010 12:33:16 PM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
Dear Bapak-bapak di FGI,
Mohon pencerahan prosedur multi stage untuk Direct shear test. Saya sudah baca di BS, namun disitu lebih menekankan ke multi-reversal untuk mencari peak strength dan residual dengan beban normal yang sama. Maksud saya, apakah boleh dilakukan multi reversal tapi dengan penambahan beban sehingga diperoleh peak strength yang berbeda sehingga diperoleh c dan phi. Kelihatannya metode ini belum dimasukkan ASTM D 3080 (ttg CD Direct shear)
Dari beberapa paper yang saya baca kelihatannya ada persamaan antara multi reversal dan multi stage. Artinya multi stage itu ya multi reversal juga tapi dengan penambahan beban. Ada juga yang melakukan penambahan beban tapi tanpa reversal. Setelah mencapai peak, shearing dihentikan kemudian diberi tambahan beban normal utk dikonsolidasikan, kemudian dilanjutkan shearing tanpa di reverse ke posisi awal.
Ada juga paper yang melaporkan penambahan beban dilakukan tanpa harus di reverse ke posisi awal, tetapi cukup dimundurkan beberapa mm.
Apakah semua metode tsb bisa dipakai? Pak Haje, P Febian, atau Bapak2 lainnya yang berpengalaman di lab.
Salam,
Yusep Muslih
Multi stage vs multi reversal Direct Shear Test - 1
Bls: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
From: muslih purwana [Chat now]
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Pak Chandra dan Pak Febian,
Sementara ini saya sudah/sedang melakukan test seperti yang pak Chandra sarankan. Beban ditambah bila sudah mencapai peak. Untuk pasir peaknya jelas sehingga mudah utk mengatur waktu penambahan beban. Untuk silty/clayey sand agak sulit karena terkadang nilai peaknya tidak diperoleh (curvanya terus naik), sehingga waktu penambahan beban ini perlu sedikit di "adjust" pada displacement yang disitu shear strength-nya kira2 sudah termobilisasi sempurna.
Terimakasih atas sarannya.
Yusep Muslih
Dari: Y.P. Chandra
Kepada: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Jum, 5 November, 2010 18:07:52
Judul: RE: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
Bpk Yusep Muslih
Secara logika, uji multi stage seharusnya ditambah tekanan konsolidasi saat shearing sedikit sebelum peak strength. Hal demikian harusnya berlaku juga untuk direct shear test.
Reversal dilakukan untuk mendapatkan strain yg besar supaya diperoleh residual strength. Umumnya peak sudah diperoleh sebelum habisnya displacement dalam satu stage. Sehingga kalau multistage dilakukan dengan reversal, parameter yang akan didapat adalah diantara peak dan residual dan tidak jelas penggunaannya.
Untuk mendapatkan parameter peak strength, saran saya lakukan monitoring stress-strain selama shear dan segera berhenti shearing dan tambah consolidation stress begitu stress-nya mencapai peak.
Yang perlu diperhatikan adalah shearing rate untuk memastikan kalau shear-nya benar-benar dalam kondisi drain karena saya lihat judul tes anda adalah CD. Cari shearing rate yang direkomendasikan di reference sesuai dengan jenis tanah yang akan diuji.
Salam,
Chandra
From: muslih purwana
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Pak Chandra dan Pak Febian,
Sementara ini saya sudah/sedang melakukan test seperti yang pak Chandra sarankan. Beban ditambah bila sudah mencapai peak. Untuk pasir peaknya jelas sehingga mudah utk mengatur waktu penambahan beban. Untuk silty/clayey sand agak sulit karena terkadang nilai peaknya tidak diperoleh (curvanya terus naik), sehingga waktu penambahan beban ini perlu sedikit di "adjust" pada displacement yang disitu shear strength-nya kira2 sudah termobilisasi sempurna.
Terimakasih atas sarannya.
Yusep Muslih
Dari: Y.P. Chandra
Kepada: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Jum, 5 November, 2010 18:07:52
Judul: RE: [forum-geoteknik-indonesia] Multi stage vs multi reversal
Bpk Yusep Muslih
Secara logika, uji multi stage seharusnya ditambah tekanan konsolidasi saat shearing sedikit sebelum peak strength. Hal demikian harusnya berlaku juga untuk direct shear test.
Reversal dilakukan untuk mendapatkan strain yg besar supaya diperoleh residual strength. Umumnya peak sudah diperoleh sebelum habisnya displacement dalam satu stage. Sehingga kalau multistage dilakukan dengan reversal, parameter yang akan didapat adalah diantara peak dan residual dan tidak jelas penggunaannya.
Untuk mendapatkan parameter peak strength, saran saya lakukan monitoring stress-strain selama shear dan segera berhenti shearing dan tambah consolidation stress begitu stress-nya mencapai peak.
Yang perlu diperhatikan adalah shearing rate untuk memastikan kalau shear-nya benar-benar dalam kondisi drain karena saya lihat judul tes anda adalah CD. Cari shearing rate yang direkomendasikan di reference sesuai dengan jenis tanah yang akan diuji.
Salam,
Chandra
Teori Baru Dr.F.J. Manoppo, Menghitung Deflection of Pile in Soft Clay under Lateral Loads
Re: [forum-geoteknik-indonesia] (unknown)
From: Fabian J Manoppo
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Dear, Pak Rowan
Untuk menghitung Deflection of Pile in Soft Clay under Lateral Loads,
Bisa dianalisa dengan cara :
1.Numerik (ada beberapa cara, subgrade reaction, PY curve dll dgn bantuan software)
2.Analitis :
Dibawah ini beberapa cara Analitis saya cut dari hasil penelitian saya yg sedang di SUBMIT dalam bentuk paper di PIT HATTI Yogya Desember 2010, berhubung masih dalam tahap Reviewer jadi saya belum bisa kasih lengkap papernya Judul " Performance of Batter Piles in Sand under Lateral Loads"
Untuk 3 cara analitis (Poulos and Davis Theory; Sastry Koumoto dan Manoppo Theory; Chang Theory) dibawah saya bandingkan dengan hasil penelitian dilaboratorium baik untuk pasir dan lempung untuk tiang pancang tunggal vertikal dan miring.
Penjelasannya panjang tapi utk mudahnya bisa gunakan teory Poulos and Davis bisa di lihat di buku PILE FOUNDATION by POULOS AND DAVIS cara menghitung analitis sbb :
1. Hitung Qu horizontal Tiang Pancang Tunggal dibuku Poulos & Davis bisa pakai cara Konvensional, Brom's atau Meyerhof (untuk lempung)
2. Hitung Defleksi dengan rumus Poulos & Davis
Qworking(elastis) = Qu hor./2 atau Qu hor /3
3. Selanjutnya gunakan nilai Qworking(elastis) pada rumus Defleksi dari Poulos and Davis utk lempung kalau mau dicoba dengan rumus Sastry,Koumoto dan Manoppo serta Chang bisa juga tapi dari hasil penelitian saya Poulos and Davis cocok untuk tiang pancang Rigid/kaku sementara Sastry Koumoto dan Manoppo cocok untuk Tiang pancang Flexible sementara Chang Under estimate
4. Untuk Defleksi pada Grup
Hitung Qu horisontal Grup = N x Qu hor. tunggal x Efisiensi
5. Qworking(elastis) Grup = Qu hor.Grup/2 atau .../3
6. Masukkan Qworking Grup pada rumus Defleksi dari Poulos and Davis untuk lempung
7. Defleksi yg digunakan adalah Defleksi yg terkecil antara Defleksi untuk 1 tiang dan untuk Tiang Grup
Catatan :
Jika dilakukan Lateral Static Loading Test maka Qu horizontalnya bisa diperoleh dengan Manoppo F.J dan Koumoto seperti dalam penggalan Paper saya dibawah.
Kutipan Paper saya :
Based on the ultimate bearing capacities computed by using the fitting method (Manoppo, F.J and Koumoto, T, 1998), the observed deflection of flexible batter pile could be determined. The observed deflection values were compared with theoretical estimates derived from three methods as follows:
The lateral ground line deflection Y and rotation θ of rigid pile of length L under a working lateral load Q = Qu/2 ~ Qu/3. (Qu is the ultimate bearing capacity derived with the fitting method) acting at a height h above the ground surface are estimated by using the theory of Poulos and Davis, 1980
Yo = Q × (Iρh + Iρm × h/L) / Es × L × Fρ (1)
Θo = Q × (Iθh + Iθm × h/L) / Es × L2 × Fθ (2)
Yl=Yo+tan(θo)h (3)
Where, Yo and θo are the ground surface deflection, Yl is the load level deflection, Es is the modulus elasticity of sand, Iρh, Iρm= Iθh and Iθm are elastic influence factors of sand for a rigid pile, Fρ and Fθ are yield deflection and rotation factors of sand, respectively. This method is referred to as method 1.
In the case of of flexible pile, the method suggested by Sastry, Koumoto and Manoppo, 1995,1996 were used, in which the length L of pile was replaced with the length effective Le
Le/L=2.3×Kr0.2≦1 (4)
Kr=EpIp/Es’L4 (5)
Where, Kr is the relative stiffness of pile. Considering average constant values of Iρh=7.5, Iρm= Iθh=9, Iθm=12.
The Yl values are then computed according to equation 3. This approach is referred to as method 2.
Deflection values due to a working lateral load Q acting at a height h above the ground level on a flexible pile of length L embedded in a soil with a uniform normal secant modulus of Es’ are also computed by Chang, 1973
Yl = Q{(1+β)3+0.5} / 3 × Ep × Ip × β3 × Fθ (6)
β=(Es’/4EpIp)0.25 (7)
This approach is referred to as method 3.
Semoga dapat membantu,
Fabian
From: Rowan
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Sun, November 7, 2010 3:57:36 AM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] (unknown)
Dear bapak2 dan ibu2 yang ada di FGI,, saya mau nanya bagaimana cara dan langakah2 untk mencari defleksi pada tiang group pada tanah lempung lunak,, mohon banuannya
From: Fabian J Manoppo
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Dear, Pak Rowan
Untuk menghitung Deflection of Pile in Soft Clay under Lateral Loads,
Bisa dianalisa dengan cara :
1.Numerik (ada beberapa cara, subgrade reaction, PY curve dll dgn bantuan software)
2.Analitis :
Dibawah ini beberapa cara Analitis saya cut dari hasil penelitian saya yg sedang di SUBMIT dalam bentuk paper di PIT HATTI Yogya Desember 2010, berhubung masih dalam tahap Reviewer jadi saya belum bisa kasih lengkap papernya Judul " Performance of Batter Piles in Sand under Lateral Loads"
Untuk 3 cara analitis (Poulos and Davis Theory; Sastry Koumoto dan Manoppo Theory; Chang Theory) dibawah saya bandingkan dengan hasil penelitian dilaboratorium baik untuk pasir dan lempung untuk tiang pancang tunggal vertikal dan miring.
Penjelasannya panjang tapi utk mudahnya bisa gunakan teory Poulos and Davis bisa di lihat di buku PILE FOUNDATION by POULOS AND DAVIS cara menghitung analitis sbb :
1. Hitung Qu horizontal Tiang Pancang Tunggal dibuku Poulos & Davis bisa pakai cara Konvensional, Brom's atau Meyerhof (untuk lempung)
2. Hitung Defleksi dengan rumus Poulos & Davis
Qworking(elastis) = Qu hor./2 atau Qu hor /3
3. Selanjutnya gunakan nilai Qworking(elastis) pada rumus Defleksi dari Poulos and Davis utk lempung kalau mau dicoba dengan rumus Sastry,Koumoto dan Manoppo serta Chang bisa juga tapi dari hasil penelitian saya Poulos and Davis cocok untuk tiang pancang Rigid/kaku sementara Sastry Koumoto dan Manoppo cocok untuk Tiang pancang Flexible sementara Chang Under estimate
4. Untuk Defleksi pada Grup
Hitung Qu horisontal Grup = N x Qu hor. tunggal x Efisiensi
5. Qworking(elastis) Grup = Qu hor.Grup/2 atau .../3
6. Masukkan Qworking Grup pada rumus Defleksi dari Poulos and Davis untuk lempung
7. Defleksi yg digunakan adalah Defleksi yg terkecil antara Defleksi untuk 1 tiang dan untuk Tiang Grup
Catatan :
Jika dilakukan Lateral Static Loading Test maka Qu horizontalnya bisa diperoleh dengan Manoppo F.J dan Koumoto seperti dalam penggalan Paper saya dibawah.
Kutipan Paper saya :
Based on the ultimate bearing capacities computed by using the fitting method (Manoppo, F.J and Koumoto, T, 1998), the observed deflection of flexible batter pile could be determined. The observed deflection values were compared with theoretical estimates derived from three methods as follows:
The lateral ground line deflection Y and rotation θ of rigid pile of length L under a working lateral load Q = Qu/2 ~ Qu/3. (Qu is the ultimate bearing capacity derived with the fitting method) acting at a height h above the ground surface are estimated by using the theory of Poulos and Davis, 1980
Yo = Q × (Iρh + Iρm × h/L) / Es × L × Fρ (1)
Θo = Q × (Iθh + Iθm × h/L) / Es × L2 × Fθ (2)
Yl=Yo+tan(θo)h (3)
Where, Yo and θo are the ground surface deflection, Yl is the load level deflection, Es is the modulus elasticity of sand, Iρh, Iρm= Iθh and Iθm are elastic influence factors of sand for a rigid pile, Fρ and Fθ are yield deflection and rotation factors of sand, respectively. This method is referred to as method 1.
In the case of of flexible pile, the method suggested by Sastry, Koumoto and Manoppo, 1995,1996 were used, in which the length L of pile was replaced with the length effective Le
Le/L=2.3×Kr0.2≦1 (4)
Kr=EpIp/Es’L4 (5)
Where, Kr is the relative stiffness of pile. Considering average constant values of Iρh=7.5, Iρm= Iθh=9, Iθm=12.
The Yl values are then computed according to equation 3. This approach is referred to as method 2.
Deflection values due to a working lateral load Q acting at a height h above the ground level on a flexible pile of length L embedded in a soil with a uniform normal secant modulus of Es’ are also computed by Chang, 1973
Yl = Q{(1+β)3+0.5} / 3 × Ep × Ip × β3 × Fθ (6)
β=(Es’/4EpIp)0.25 (7)
This approach is referred to as method 3.
Semoga dapat membantu,
Fabian
From: Rowan
To: forum-geoteknik-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Sun, November 7, 2010 3:57:36 AM
Subject: [forum-geoteknik-indonesia] (unknown)
Dear bapak2 dan ibu2 yang ada di FGI,, saya mau nanya bagaimana cara dan langakah2 untk mencari defleksi pada tiang group pada tanah lempung lunak,, mohon banuannya
Langganan:
Postingan (Atom)